Judul Buku : Nefertiti (The Book of the Dead)
Penulis : Nick Drake (2006)
Penerjemah : Bima Sudiarto
Tebal : 600 hlm; 12,5 X 19 cm
Cetakan: 1, Februari 2007
Penerbit : Dastan Books
Bayang-bayang menyingkap seperti tirai, lalu kulihat dia.
Sang sempurna duduk di salah satu kursi. Mengenakan mahkota warna biru, memperlihatkan leher dan pundaknya nan jenjang dan indah. Membuat wajahnya semakin cantik.
Nama Nefertiti diterjemahkan sebagai wanita yang cantik (atau sempurna) telah datang. Sebagian namanya juga berarti manik-manik emas yang terjulur panjang (nefer) yang sering tergambar sedang dikenakannya. Siapa orang tua Nefertiti, tidak diketahui secara pasti. Dengan Amenhotep IV, Nefertiti melahirkan enam orang anak perempuan.
Pada
tahun ke-4 pemerintahannya, Amenhotep IV memulai penyembahan kepada
Aten, dewa matahari. Dia dan Nefertiti memproklamasikan diri sebagai
inkarnasi agung dan penyambung lidah Aten. Bersamaan dengan dimulainya
penyembahan dewa Aten, pembangunan sebuah ibu kota baru, Akhetaten -sekarang dikenal sebagai Amarna- dimulai. Pada tahun kelima pemerintahannya, Amenhotep IV secara resmi mengubah namanya menjadi
Akhenaten sebagai tanda penyembahan barunya terhadap Aten. Ibu kota
dipindahkan dari Thebes ke Akhetaten secara resmi pada tahun ke-7
pemerintahan Akhenaten (1343 BC) walaupun pembangunan kota tetap
dilanjutkan sampai tahun 1341 BC.
Selama
pemerintahan Akhenaten, Nefertiti terkenal sebagai wanita yang
karismatik dan memiliki kekuasaan setara dengan suaminya. Pada tahun
kedua belas pemerintahan Akhenaten, Nefertiti menghilang dari rekaman
sejarah, tidak ada lagi informasi mengenai dirinya setelah itu. Berbagai
spekulasi disorongkan untuk mencoba menjawab apa yang terjadi pada
dirinya. Ia dikabarkan meninggal, tertimpa aib, tapi juga dipercaya
sempat memerintah imperium Mesir dengan nama Neferneferuaten-Nefertiti
dalam waktu yang singkat setelah suaminya meninggal sebelum kemudian
ia digantikan oleh Tutankhamun.
Konon,
zaman terjadinya sinkretisasi agama oleh Akhenaten dengan
memperkenalkan Atenisme dan sesembahan baru, kemudian juga dilaksanakan
konstruksi ibu kota baru, bagi sebagian orang dianggap sebagai zaman
keemasan imperium Mesir. Tapi ada juga yang berpendapat apa yang
dilakukan oleh Akhenaten menggiring imperium Mesir ke tepi jurang
kehancuran. Pembangunan ibu kota baru dengan kuil untuk dewa matahari
telah menjadi konsentrasi pemerintahan Akhenaten. Ekonomi menjadi kacau
balau. Beras susah dicari. Para pegawai tidak digaji. Kejahatan
bereskalasi. Keguncangan masal.
Dengan
diberlakukannya atenisme, semua dewa yang sebelumnya disembah bangsa
Mesir (dewa Amun, dkk) disingkirkan termasuk pendeta-pendetanya seperti
yang terjadi di Kuil Karnak. Oleh karena itu tidak dapat dihindarkan
lagi jika rezim Akhenaten menjadi penghancur kehidupan mapan banyak
orang sehingga akhirnya menciptakan musuh bagi dirinya. Tapi
Akhenaten tidak peduli dan tetap menjalankan rencananya. Tesis inilah
yang digeber Nick Drake dalam novel perdananya, Nefertiti.
Novel ini menggambarkan ihwal akan diresmikannya kota baru,
Akhetaten, sebagai ibu kota dan pusat penyembahan Aten yang terjadi
pada tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten. Pada saat itu, Nick
menceritakan kalau Nefertiti menghilang dari istananya. Hal ini
menimbulkan pertanyaan karena ada pendapat yang menyatakan bahwa Atenisme sudah diberlakukan sejak tahun keempat pemerintahan Akhenaten.
Selain itu karena Akhetaten dibangun sampai tahun kesembilan pemerintahan
Akhenaten, agak aneh juga jika baru diresmikan tahun keduabelas,
seperti yang disampaikan Nick Drake. Tapi karena ini masalah sejarah,
dan bukti yang paling sahih tidak tersedia, maka Nick Drake tentu saja
memiliki kemerdekaan untuk menyampaikan gagasannya. Apakah gagasan
yang disampaikannya benar, kita tidak bisa memastikan. Mungkin saja
akan ada penemuan baru yang mengukuhkan hipotesisnya.
Peristiwa
menghilangnya Nefertiti menjadi tema penting di tengah eksplorasi
Nick Drake terhadap kehidupan pemerintahan dan masyarakat Mesir kuno.
Oleh karena itu selain kehidupan keluarga kerajaan -Nefertiti, suami,
anak-anaknya dan para kerabat- Nick juga melakukan sejumlah riset
mengenai materi seperti pola kehidupan
masyarakat saat itu, makanan yang mereka santap, apa yang menjadi
bahan pemikiran dan pembicaraan mereka, bahkan permainan yang mereka
mainkan -dalam novel ini disebutkan permainan bernama Senet. Drake juga
mengunjungi Mesir untuk melihat puing-puing Akhetaten (Amarna).
Menjelang
peresmian ibu kota baru dan agama baru, Nefertiti hilang dari
istananya, tanpa jejak. Sebagai tokoh karismatik yang sangat dihormati
dan dicintai rakyatnya, lenyapnya Nefertiti menjadi masalah besar.
Tanpa dirinya festival peresmian itu terancam gagal. Ada indikasi bahwa
masyarakat mau mengikuti Atenisme karena pesona Nefertiti.
Ketidakhadiran Nefertiti akan menunjukkan kepada masyarakat bahwa ada
masalah sedang terjadi dalam kerajaan. Kredibilitas dan pencapaian
Akhetanen akan dipertanyakan, termasuk agama barunya. Di samping itu,
ada kecurigaan sedang terjadi konspirasi untuk menentang pemerintahan.
Oleh sebab itu, Nefertiti harus ditemukan.
Pada
saat itu, di Mesir terdapat satuan keamanan kerajaan -yang menyimpan
arsip papirus tentang semua masyarakatnya supaya bisa mengawasi
mereka- yang disebut Medjay. Ankhenaten memerintahkan Rahotep, kepala
detektif termuda satuan Medjay divisi Thebes, untuk menemukan sang ratu.
Rahotep terkenal dengan metode kerjanya yang orisinil. Setiap
menangani suatu kasus, ia membuat jurnal untuk mencatat semua yang ia
pikirkan dan ia indera dari investigasi yang dilakukan. Kerap dengan
cara ini ia bisa memecahkan kasus yang ditanganinya.
Dari
Thebes, meretas Sungai Besar, Rahotep menuju ibu kota baru, Akhetaten.
Langsung disambut dengan sambaran anak panah untuk memperingatkan
bahwa kehadirannya tidak diinginkan. Mahu, kepala Medjay yang
ditemuinya di Akhetaten, tanpa tedeng aling-aling menunjukkan
ketidaksukaan terhadap dirinya.
Oleh
Mahu, disediakan dua petugas untuk memandu Rahotep selama berada di
Akhetaten, Kety dan Tjenry. Rahotep diberi waktu sepuluh hari oleh raja
untuk mengembalikan Nefertiti, Sang Sempurna, karena festival peresmian
ibu kota dan agama baru akan diadakan 10 hari lagi. Kalau tidak,
Rahotep dan keluarganya akan dihabisi.
Baru
saja memulai investigasinya, Rahotep telah menemukan mayat perempuan
dengan wajah rusak. Sebelum misteri mayat yang diduga sebagai Nefertiti
dipecahkan, Tjenry yang sedang mengawasi mayat ini dibunuh dengan cara
mengerikan. Nyawa Rahotep sendiri terancam. Setelah itu, Meryra kepala
bendahara kerajaan yang baru diangkat menjadi pendeta tinggi Aten juga
tewas mengenaskan. Kematian Meryra membuat Mahu memaksa Rahotep
meninggalkan Akhetaten dengan mengancam kehidupan keluarganya. Tapi
sebelum ada keputusan selanjutnya, Rahotep menemukan tulisan dalam
jurnalnya yang ditulis orang tak dikenal yang kemudian menuntunnya pada
pengungkapan misteri hilangnya Nefertiti.
Nefertiti
memang belum meninggal. Ia juga tidak diculik oleh orang-orang yang
terlibat konspirasi menentang rezim Akhenaten. Tapi ia melarikan diri
dari istana, setelah bertengkar dengan suaminya dan didera masalah
yang membuatnya cemas dan ketakutan. Ia berharap dengan melarikan diri
bisa menemukan solusi untuk masalah yang dihadapi.
Setelah
Rahotep meninggalkan Nefertiti dengan tujuan untuk mencari komplotan
yang menentang kerajaan, Mahu menangkapnya, memenjarakan, dan
menyiksanya. Di tengah penyiksaan yang dilakukan Mahu, Ay, penasihat
sekaligus kepala pasukan berkuda kerajaan datang membebaskan Rahotep.
Ay meminta Rahotep untuk menjadi negosiator antara dia dan Nefertiti
dalam rangka membereskan masalah kerajaan.
Festival peresmian ibu kota dan agama baru menjadi klimaks yang tak terduga. Sesuatu terjadi. Imperium Mesir terhempas di jurang kaos. Pemerintahan kacau. Keputusan Nefertiti-lah yang akan menentukan kelangsungan nasib kerajaan Mesir.
Apapun yang kemudian terjadi, pada akhirnya, tentu saja Rahotep bisa kembali ke Thebes. Setelah itu menurutnya, ia tidak pernah bertemu lagi dengan Nefertiti dan suaminya. Tapi pekerjaan Rahotep tidak berakhir di situ. Karena novel ini hanya menjadi bagian pertama yang ditulis Nick Drake untuk memperkenalkan aksi Rahotep kepada pembaca. Drake masih akan menerbitkan lagi sekuel kisah petualangan detektif Medjay ini.
Festival peresmian ibu kota dan agama baru menjadi klimaks yang tak terduga. Sesuatu terjadi. Imperium Mesir terhempas di jurang kaos. Pemerintahan kacau. Keputusan Nefertiti-lah yang akan menentukan kelangsungan nasib kerajaan Mesir.
Apapun yang kemudian terjadi, pada akhirnya, tentu saja Rahotep bisa kembali ke Thebes. Setelah itu menurutnya, ia tidak pernah bertemu lagi dengan Nefertiti dan suaminya. Tapi pekerjaan Rahotep tidak berakhir di situ. Karena novel ini hanya menjadi bagian pertama yang ditulis Nick Drake untuk memperkenalkan aksi Rahotep kepada pembaca. Drake masih akan menerbitkan lagi sekuel kisah petualangan detektif Medjay ini.
Novel
yang pernah masuk dalam nominasi novel terbaik Ellis Peters Award ini
ditulis menggunakan Rahotep sebagai narator. Ketika membaca, pembaca
mungkin tidak akan menyadari tengah membaca kisah yang (diceritakan)
tidak terjadi di masa kini. Dengan meyakinkan, menggunakan perspektif
Rahotep, Drake menggelontorkan kisahnya secara enteng sehingga novel
berlatar Mesir kuno ini hadir layaknya novel kontemporer, apalagi dengan
konflik dan kecemerlangan gagasan yang dibentangkan. Tidak ada
kekakuan dalam pemaparan kehidupan yang telah lama berlalu ditelan
waktu. Semua dihadirkan dengan wajar dan sama sekali tidak berkesan
kuno. Segala detail diupayakan seakurat mungkin, baik elemen kultural
maupun objek yang dikemukakan. Alhasil, Nefertiti tampil
memikat dengan pesona seperti yang dipancarkan sang ratu
yang menjadi salah satu ikon kecantikan feminin abad dua puluh ini.
Selain itu, novel diracik dengan kalimat-kalimat evokatif yang cenderung puitis. Hal ini bisa dipahami, karena Nick Drake juga dikenal sebagai penyair. Bukunya yang berjudul The Man in the White Suit memenangkan penghargaan Waterstone's Forward Poetry Prize untuk kategori Best First Collection.
Karakter-karakter yang diangkat Nick Drake pada umumnya merupakan karakter sejarah, tapi bisa ditebak kalau Rahotep adalah karakter fiktif ciptaannya. Demikian juga Khety, Tjenry, atau Senet.
Edisi Indonesia diterjemahkan dengan rangkaian kata-kata yang enak dibaca dan terkesan cerdas sehingga seluruh ceritanya dapat diikuti dengan lancar. Selain itu, naskah dicetak dalam ukuran huruf yang ramah mata. Keistimewaan lainnya adalah rancangan sampul yang spektakuler dalam nuansa keemasan mewakili panorama padang pasir dan era keemasan imperium Mesir Kuno.
Tak diragukan lagi, novel ini menjadi novel elegan untuk pembaca yang tertarik pada kisah berlatar sejarah masa silam tetapi dengan pesona misteri kontemporer.
Tentang Pengarang
Nick Drake, kelahiran London tahun 1961, adalah seorang penyair dan penulis novel misteri berlatar sejarah. Ia telah menerbitkan dua kumpulan puisi yaitu The Man in the White Suit (1999) dan From the Word Go (2007). Nefertiti: The Book of the Dead (2006) adalah buku pertama dari The Egypt Trilogy yang menampilkan Rahotep sebagai detektif. Setelah Nefertiti, Drake telah melengkapi triloginya dengan menerbitkan Tutankhamun: The Book of Shadows (2010) dan Egypt: The Book of Chaos (2011). Selain itu ia telah menerbitkan skenario berjudul Romulus, My Father (2007).
Selain itu, novel diracik dengan kalimat-kalimat evokatif yang cenderung puitis. Hal ini bisa dipahami, karena Nick Drake juga dikenal sebagai penyair. Bukunya yang berjudul The Man in the White Suit memenangkan penghargaan Waterstone's Forward Poetry Prize untuk kategori Best First Collection.
Karakter-karakter yang diangkat Nick Drake pada umumnya merupakan karakter sejarah, tapi bisa ditebak kalau Rahotep adalah karakter fiktif ciptaannya. Demikian juga Khety, Tjenry, atau Senet.
Edisi Indonesia diterjemahkan dengan rangkaian kata-kata yang enak dibaca dan terkesan cerdas sehingga seluruh ceritanya dapat diikuti dengan lancar. Selain itu, naskah dicetak dalam ukuran huruf yang ramah mata. Keistimewaan lainnya adalah rancangan sampul yang spektakuler dalam nuansa keemasan mewakili panorama padang pasir dan era keemasan imperium Mesir Kuno.
Tak diragukan lagi, novel ini menjadi novel elegan untuk pembaca yang tertarik pada kisah berlatar sejarah masa silam tetapi dengan pesona misteri kontemporer.
Tentang Pengarang
Nick Drake, kelahiran London tahun 1961, adalah seorang penyair dan penulis novel misteri berlatar sejarah. Ia telah menerbitkan dua kumpulan puisi yaitu The Man in the White Suit (1999) dan From the Word Go (2007). Nefertiti: The Book of the Dead (2006) adalah buku pertama dari The Egypt Trilogy yang menampilkan Rahotep sebagai detektif. Setelah Nefertiti, Drake telah melengkapi triloginya dengan menerbitkan Tutankhamun: The Book of Shadows (2010) dan Egypt: The Book of Chaos (2011). Selain itu ia telah menerbitkan skenario berjudul Romulus, My Father (2007).
0 comments:
Post a Comment