Judul Buku: Travelers' Tale
Penulis: Adhitya Mulya, Alaya Seta, Iman Hidayat, Ninit Yunita
Penyunting: Windy Ariestanty
Tebal: x + 230 hlm;13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2007
Penerbit: GagasMedia
Barcelona! Such a beautiful horizon
Barcelona! Like a jewel in the sun
Por ti sere gaviota de tu bella mar
Barcelona! Suenan las campanas
Barcelona! Abre tus puerras al mundo
If God is willing, if God is willing, if God is willing
Friends until the end
Penyunting: Windy Ariestanty
Tebal: x + 230 hlm;13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2007
Penerbit: GagasMedia
Barcelona! Such a beautiful horizon
Barcelona! Like a jewel in the sun
Por ti sere gaviota de tu bella mar
Barcelona! Suenan las campanas
Barcelona! Abre tus puerras al mundo
If God is willing, if God is willing, if God is willing
Friends until the end
(Barcelona, Freddie Mercury & Mike Moran)
Empat lajang, dua pasang gender, kepala tiga, bersahabat sejak kecil. Semasa SMA, cinta menyapa di antara mereka. Cinta yang tumbuh dari kebersamaan, tetapi berpotensi menggerogoti kebersamaan pula. Dua di antaranya membiarkan cinta mereka tanpa kepastian. Dua yang lain mencoba membunuh cinta yang terhalang perbedaan kepercayaan. Dengan status seperti itu, mereka tumbuh dewasa, terserak di 4 benua dengan pekerjaan masing-masing.
Francis
Lim mengira ia akan sukses lari dari jerat cinta monyet ketika ia
memutuskan menikah dengan Inez Alegria de la Pena, gadis Catalonia. Ia
mengundang 3 sahabatnya untuk hadir pada acara pernikahan yang akan
dilaksanakan 1 bulan lagi di Barcelona, kota asal Inez.
Ketiga
sahabat Francis memutuskan pergi ke Barcelona dengan dana yang
terbatas. Farah Babedan, dari Hoi An, Vietnam, meretas jalan ke
Barcelona setelah menyelesaikan kewajibannya di Amman dan Budapest.
Jusuf Hasanuddin yang sedang berada di Nairobi bukannya balik ke Cape
Town, Afrika Selatan, malah ke Barcelona lewat Abidjan. Retno
Wulandari, meninggalkan Kopenhagen, Denmark, menuju Barcelona via
Amsterdam. Francis Lim sendiri sang calon mempelai pria, sehabis acara
resital piano di Amerika, menuju Barcelona dari New York City.
Maka, terbangunlah kisah dalam novel bertajuk Travelers' Tale -Belok Kanan: Barcelona!.
Pengalaman perjalanan, laporan pandangan mata, dan serpihan-serpihan
masa lalu memberkas dalam cerita cinta stereotipikal yang menjadi
pencetus plot novel.
Cinta
memang sumber daya yang tidak ada matinya. Sangat banyak buku yang
memanfaatkannya sebagai bahan baku. Dan, novel berjudul panjang ini
terperangkap untuk melakukan hal yang identik. Namun cinta yang dibesut
dalam novel ini, kendati bertolak dari cinta monyet, ternyata telah
menggorila dan memiliki tujuan. Cinta seperti ini juga bukan hal yang
baru dalam dunia fiksi. Oleh karena itu, pengalaman traveling diasimilasikan
untuk mengkreasikan perbedaan. Alhasil, terciptalah kisah cinta
multisegi yang terentang penuh ketidakpastian dalam perjalanan menuju
horison nan indah, Barcelona. Di manapun para tokoh berada, jalur
apapun yang ditempuh, mereka pasti akan tiba sesuai sirkulasi yang
telah ditentukan, di jantung Barcelona. Terbukti, meski melewati lokasi
peperangan, karakter laki-laki narsis sok ganteng dalam novel ini
sampai juga di Barcelona.
Ternyata,
cerita cinta stereotipikal yang meliput hidup 4 makhluk ini menjadi
karya ringan-renyah yang cukup enak dinikmati. Plot digelar manis
mengundang tanya. Tidak ada kerumitan yang berarti. Apa yang akan
terjadi di Barcelona telah terbayang di benak pembaca sebelum para
tokoh menjejak kota yang pernah dihidupkan dalam lagu oleh pasangan
Freddy Mercury-Mike Moran dan Fariz RM ini. Ketika persahabatan
dipertaruhkan, akhirnya semua cinta menemukan takdirnya sendiri.
Karena
perjalanan anak-anak muda ini berangkat dari lingkaran persahabatan
yang telah mereka untai 20 tahun lamanya, kilas balik menjadi teknik
yang penting untuk membawa masuk apa yang terjadi di masa lalu ke masa
kini untuk memberi pemahaman kepada pembaca. Kilas balik tersebut
berpadu kompak dengan kisah traveling yang dideskripsikan dengan
enteng dan lancar. Walau di beberapa tempat nyaris terjadi digresi,
tetapi aliran sungai cerita sudah ditentukan, sehingga laut lepasnya
sudah sangat jelas.
Novel
ini dituturkan dengan kelincahan narasi komedi cinta. Menariknya,
kelincahan narasi ini digerakkan oleh 4 penulis. Masing-masing penulis
mewakili satu karakter. Karena tokoh novelnya terdiri dari 2 pasang
gender, maka penulisnya juga sama. Masing-masing sengaja tampil beda,
kendati menggunakan perspektif orang pertama –saya, aku, gue, dan gua.
Hal ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahan dalam berkisah.
Kekuatannya,
karena dituturkan oleh 4 narator –dan 4 penulis berbeda- tentu saja
dengan kontrol untuk keutuhan penokohan dan plot, ceritanya menjadi
lebih natural jika dibandingkan dengan cerita yang dituturkan 4 narator
tetapi dikucurkan oleh satu penulis. Kelemahannya, 4 orang dari zaman
yang sama, pergaulan yang identik, gaya bicara yang idem ditto (bahasa
gaul dengan berbagai bahasa yang ada), hadir satu sama lain bagaikan
orang asing. Farah sibuk ber-gue-gue, Jusuf asyik ber-gua-gua, Retno
senang ber-saya-saya, dan Francis getol ber-aku-aku. Dan ketika mereka
terlibat dialog bersama, dengan setia gaya itu dipertahankan. Makanya,
tanpa sadar (atau tak terkoreksi), Farah yang doyan ber-gue-gue,
khilaf ber-gua-gua (hlm. 139) dan Francis yang biasanya ber-aku-aku,
menambah gua dalam cita rasa lidahnya (hlm. 215).
Meski bertutur menggunakan perspektif orang pertama, ketika Retno dan Jusuf menjadi narator dan menceritakan chatting yang
mereka lakukan, baik penulis Retno maupun penulis Jusuf menuliskan
nama karakter mereka sendiri dan bukan 'saya' atau 'gua' untuk
mengimbangi lawan bicaranya (hlm. 29, 30, 43, 44). Pada halaman 83 dan
146 -teks dalam kotak, penulis Jusuf malah menambah-nambahkan 'tim
penulis' dalam tulisannya, seakan-akan tidak tahan ingin masuk dalam
cerita ciptaannya. Apakah itu perlu?
Selain cukup enak dinikmati, dalam novel ini pembaca akan menemukan tips-tips traveling seperti perencanaan traveling, transit, mengatasi jetlag, teknik backpacking,
obat-obat yang perlu disediakan, dan memilih transportasi serta
akomodasi yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh pembaca yang hendak
bepergian seperti yang pasti telah dilakukan para penulis.
Buku
karya 4 penulis –Adhitya, Alaya, Iman, dan Ninit- ini tampil dengan
kemasan yang baik dan ide sampul yang tidak pasaran. Sekilas lihat
tidak akan menduga jika buku ini sebuah karya fiksi. Satu hal yang saya
tidak pahami adalah ketika membaca komentar salah satu komentator novel
yang mengatakan bahwa plot novel susah dikenal; mood and background
lebih penting dari kejadian yang diceritakan. Dengan mengesampingkan
kejadian yang diceritakan, akan jadi apa buku ini selain sekadar travel guides dan laporan perjalanan?
0 comments:
Post a Comment