11 February 2012

Birdman



Buku : Birdman
Penulis: Mo Hayder
Penerjemah: Basfin Siregar
Tebal: 552 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, September 2007
Penerbit: Dastan Books




Kepak Sayap Burung Postmortem 



Sekali lagi pembunuhan serial menjadi bahan baku sebuah novel thriller yang mencetak bestseller di berbagai negara di Amerika, Eropa, dan Asia. Novel yang bertajuk Birdman ini adalah karya debut Mo Hayder yang diterbitkan untuk pertama kalinya pada Januari 2000. Ketika membaca novel ini, saya sama sekali tidak menduga jika Mo Hayder sebenarnya seorang perempuan. Selain tidak ada informasi dalam edisi Indonesia yang menunjukkan jika Mo Hayder seorang perempuan, isi novel yang 'keras' meyakinkan saya jika Mo Hayder adalah seorang penulis lelaki. Tapi ternyata saya salah. Mo Hayder memang seorang perempuan, dan tidak hanya penulis lelaki yang bisa menulis dengan gaya seperti Birdman. Setelah Birdman, Mo Hayder juga telah menulis novel lain seperti The Treatment (memenangkan WH Smith Thumping Good Read Award 2002) dan Tokyo (di Amerika berjudul The Devil of Nanking) yang masuk nominasi CWA Dagger Award.


Birdman yang berseting Inggris ini dibuka dengan penemuan mayat seorang perempuan pekerja seks yang dibunuh secara sadis di Greenwich Utara. Perempuan ini menjadi korban kelima dari rangkaian pembunuhan dengan ciri-ciri yang hampir sama. Mereka adalah perempuan muda; beberapa di antaranya mengalami mutilasi payudara; wajah dipulas kosmetik tebal; semua diperkosa setelah mati, dan burung kecil yang masih hidup disusupkan ke dalam dada sebagai ganti jantung. Berdasarkan kondisi korban, diduga pelakunya  memahami anatomi tubuh manusia dan prosedur bedah. 

Setelah kasus pembunuhan ini diungkapkan kepada publik, pelaku tindakan kriminal ini dijuluki The Millenium Ripper. Sedangkan di kalangan kepolisian sendiri, ia dikenal sebagai Manusia Burung (Birdman) lantaran burung yang ditemukan di dalam dada korban-korbannya. 

Jack Caffery, inspektur detektif AMID (Area Major Investigation Pool),  yang terlibat dalam investigasi kasus Manusia Burung ini sangat yakin jika pelakunya seorang dari ras Eropa kulit putih, kendati  ada dugaan jika ia seorang Afro-Karibia. 

Keyakinan Jack terbukti dengan terungkapnya identitas si pelaku. Si pelaku adalah karyawan sebuah rumah sakit, seorang pengidap nekrofilia kronis. Tapi, apa yang dilakukan orang ini kemudian, menyingkapkan situasi lain yang mengejutkan, eksistensi sebuah kolaborasi hasrat sakit yang berawal dari sebuah insiden di kamar mayat enam belas tahun sebelumnya. 

Birdman hadir sebagai sebuah thriller dengan alur cepat menegangkan sekaligus mengerikan dengan bumbu berbagai kejutan.  Meski cerita bergulir cepat, penulis tetap tidak kehilangan kemampuan memberikan detail yang membuat kisahnya terkesan sangat meyakinkan. Mo Hayder bisa dibilang sanggup membuat pembaca menggambarkan dalam benak apa yang ia sajikan. Dan kemungkinan, pada beberapa tempat, akan merasa mual dengan kesan yang ditimbulkannya.   

Selain plot utama, Mo Hayder juga memberi tempat untuk konflik kehidupan tokoh utama, Jack Caffery, sehubungan dengan kisah cintanya dengan Veronica dan sebuah peristiwa di masa lalu yang melibatkan saudaranya yang terus menghantui hidupnya. Hanya, bagian ini hanya terkesan sebagai tempelan karena tidak memiliki kontribusi signifikan terhadap jalan cerita utama. Tanpa konflik pribadi Jack tersebut, Birdman tidak akan kehilangan greget. Justru penambahan yang dilakukan Mo Hayder, khususnya kisah yang bersumber dari masa lalu Jack yang diungkit-ungkit sejak awal menjadi bagian yang agak mengganggu. Mo Hayder tidak menuntaskan masalah internal Jack tersebut sebagai konsekwensi hadirnya bagian itu dalam novel. Ia membiarkan bagian itu mengambang hingga novel berakhir. Sebelumnya, saya sempat menduga-duga (sambil berharap) jika pelaku kejahatan berantai itu justru saudara Jack. 

Seluruh kisah yang dipaparkan Mo Hayder, sesungguhnya tetap bisa dinikmati. Membaca novel ini, saya merasa seolah-olah sedang menonton sebuah film Holywood. Apalagi, jika menilik gaya penulisan yang bergerak cepat dan mudah diikuti, seakan-akan novel ditulis dengan maksud untuk difilmkan (belakangan saya tahu, Mo Hayder adalah seorang MA bidang film dari The American University di Washington). Tapi, terasa kurang nyaman ketika penulis sepertinya tidak tahan untuk segera mengungkapkan wajah dan nama si pembunuh. Mungkin, jika Mo Hayder hanya menyebutnya sebagai Manusia Burung dalam narasinya, ketegangan akan lebih terjaga. Untunglah, walau wajah pembunuh telah disingkapkan, Mo Hayder tetap mempunyai liuk kisah yang tetap menegangkan ketika plot menapaki ending. Sehingga akhir novel tidak lalu terjebak menjadi antiklimaks. 

Edisi Indonesia terbitan Dastan terbilang enak dibaca. Hasil cetaknya bagus menggunakan ukuran huruf yang nyaman dibaca. Sampulnya, seperti yang kerap tampak dari sampul Dastan, digarap seperti poster film. Penambahan catatan yang ada di halaman bagian belakang buku memberikan informasi yang berguna bagi pembaca. 

Tanpa perlu membanding-bandingkan dengan The Silence of the Lambs seperti pada testimoni yang dikutip dari Daily Teleraph (flap depan), Birdman sebenarnya telah hadir sebagai sebuah novel yang layak baca, memiliki kelebihan sendiri, dan bisa menjadi menu baru dalam daftar baca penggemar novel thriller, di Indonesia.






1 comments:

Anonymous said... Reply Comment

waktu sy umur 14 tahun pernah baca sinopsis novel ini dan mulai suka cerita" thriller, dan skrng usia sy sdh 24 thn baru ada film nya. wajib nonton nih..

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan