Judul Buku: The Brother
Penulis : Georgius Han
Penyunting: Windy Ariestanty
Tebal : vi + 324 hlm
Cetakan: 1, Desember 2006
Penerbit: GagasMedia
Selama 6 bulan dari Mei 1917 hingga Oktober 1917 tiap hari ke-13, Maria yang dikenal sebagai Bunda Maria oleh pemeluk Katolik, menampakkan diri kepada Lucia dos Santos, Francisco, dan Jacinta di Cova da Iria, Fatima, Portugal. Saat penampakan di bulan Juli, Bunda Maria memberikan Tiga Rahasia yang tidak boleh disebarluaskan sampai ia memperbolehkannya. Dua dari tiga rahasia tersebut diungkap kemudian oleh pihak Gereja Katolik pada tahun 1942, yaitu sebuah visi tentang neraka dan berakhirnya Perang Dunia I (serta kemungkinan meletusnya Perang Dunia berikutnya). Rahasia ketiga tidak pernah dibuka sampai 26 Juni 2000. Tetapi bagi kalangan tertentu, apa yang akhirnya dilakukan oleh pihak Gereja Katolik itu hanya sebagai usaha untuk mengakhiri spekulasi tentang kapan terjadinya kiamat dunia. Ada anggapan pihak Vatikan tidak mengungkap semua yang ditulis oleh Lucia dos Santos setelah gadis ini menjadi biarawati.
Peristiwa seputar penampakan Bunda Maria dan tiga rahasia yang ia berikan menjadi latar belakang novel berjudul The Brother karya perdana Georgius Han. Bagi pria kelahiran tahun 1976 dengan sejumlah bakat ini The Brother adalah produk dari dorongan kuat untuk mengekspresikan ide-ide liarnya ke dalam karya tulis sekaligus merupakan akhir dari sebuah perjalanan panjang mencari jati diri. Saat pertama menyadari kehadiran buku ini, secara pribadi, dengan mempertimbangkan judul dan nama penulisnya, saya menduga The Brother adalah karya terjemahan. Tetapi ternyata The Brother benar-benar karya orang Indonesia keturunan Tionghoa dan diterbitkan di Indonesia oleh GagasMedia. Setelah menuntaskan isi novel, tersimpul kesan bahwa penulis memang berhasil mengekspresikan ide liarnya dengan dahsyat. Georgius Han memiliki keprigelan dalam merangkai kisah dengan perwatakan dan alur cerita yang memukau. Tak pelak, The Brother hadir menawan dan sungguh dapat dinikmati dengan lancar.
Setelah latar belakang cerita, Han membuka The Brother
menggunakan Yerusalem Abad 1 sebagai latar. Seorang lelaki muda, anak
tukang kayu, membantai sejumlah manusia di Bait Allah Yerusalem, lengan
kirinya putus, kemudian ia mati oleh puluhan anak panah pasukan Romawi
yang menancap di seluruh tubuhnya.
Cerita
beralih ke Indonesia, ke Desa Kapencar, Wonosobo, 1980, ke dalam
kehidupan gadis cantik bernama Linda. Ia adalah putri tunggal Antonius
Chandra, keturunan Tionghoa pemilik perkebunan tembakau di kaki gunung
Sindoro. Percintaan Linda dengan seorang lelaki bernama Alex
menggiringnya kepada peristiwa yang akan merusak kehidupannya untuk
selamanya. Ia menjadi korban perkosaan 2 lelaki yang dikenal sebagai
biarawan (pastor) di desanya dan terusir dari sana setelah kehilangan
segalanya. Semarang, 22 Mei 1981, Linda memutuskan bunuh diri dengan
melompat ke Banjir Kanal.
Enam
belas tahun kemudian, 1997, di Semarang, Valiano Ovadya Christan (Val),
mengetahui jika 2 orang yang selama ini ia kenal sebagai orang tua,
ternyata hanyalah orang tua angkat. Hal ini diketahui Val setelah ibunya
meninggal dan menjelang kematian sang ayah. Ia merasa terpukul oleh
kematian mereka, lalu mencoba merusak hidupnya sendiri.
November
2010, di Padang Gurun Syria Timur, di sebuah lokasi penggalian, Injil
Hitam ditemukan. Saat bersamaan, Val, di Semarang, telah meninggalkan
usaha merusak kehidupannya dan menjadi seorang biarawan. Ia menyaksikan
penampakan seorang perempuan yang kemudian diyakininya sebagai Bunda
Maria. Bunda Maria memberikan gulungan surat yang merupakan surat
lengkap Lucia dos Santos. Surat Lucia memang tidak pernah dipublikasikan
oleh Vatikan secara lengkap. Tujuh cawan maut sebagai bayangan 7
malapetaka yang akan membuka hari kiamat tidak pernah dipublikasikan
karena pihak Vatikan memiliki pertimbangan sendiri. Surat ini mengantar
Val menuju Roma, terperangkap dalam bentrokan kepentingan 2 kubu.
Pertama, kubu Ordo Hakal-Dama yang menjadikan Yudas Iskariot sebagai
nabi dan memegang teguh semua perkataannya, seekstrim apapun. Kedua,
Casa di Dio, aliran baru dalam gereja yang berdiri untuk menyaingi
kedigdayaan Katolik Roma, bahkan mendirikan gereja utama di dekat
Vatikan.
Bagi
Ordo Hakal-Dama, penemuan Injil Hitam yang ditulis Yudas Iskariot
adalah tindakan pencurian yang bertujuan mempercepat kiamat yang
sebenarnya, dan ini harus dicegah. Bagi Casa di Dio, penemuan Injil
Hitam memberi jalan pada terbebasnya Lucifer, sembahan mereka, dari
kerangkeng neraka. Kedua pihak ini memiliki sasaran yang sama: menemukan
seseorang berjuluk Anak Manusia untuk mewujudkan misi masing-masing.
Persilangan dua kepentingan ini menjadikan Val sarana yang tepat untuk
membawa Anak Manusia ke hadapan mereka.
Pada
akhirnya, berbagai malapetaka yang ditulis Lucia dos Santos mulai
terjadi mendahului perhitungan waktu yang ditulis sang biarawati. Di
tengah ledakan malapetaka, si Anak Manusia ditemukan, kemudian terjebak
di Casa di Dio, di hadapan sang pendeta tertinggi yang tidak sekedar
hendak mewujudkan tekad sepasang anak kembar Lucifer, tetapi memendam
dendam tak berkesudahan yang belum terlampiaskan bertahun-tahun lamanya.
Bersamaan dengan itu, siapa sesungguhnya orang tua kandung Val
tersingkap, memberikan pemahaman menakutkan, bukan hanya untuk Val
sendiri, tetapi juga bagi pembaca.
Apa sebenarnya maksud judul The Brother? Siapakah
sebenarnya Val? Siapa juga Anak Manusia yang dimaksud? Pihak mana yang
akhirnya menang dalam konflik hari kiamat ini? Apakah kiamat benar-benar
terjadi? Semua pertanyaan ini terjawab secara memuaskan pada
bagian-bagian akhir novel enigmatis yang sangat mengejutkan ini.
Kita
tidak bisa tidak mengacungkan jempol buat Georgius Han yang secara
brilian menghasilkan novel dengan tema yang tidak biasa ditemukan dalam
karya-karya penulis Indonesia. Meski tema yang diusungnya akan
mengingatkan pada karya penulis-penulis luar yang sangat berani
melontarkan hipotesis dan argumen untuk mencetuskan kontroversi, karya
Han ini sama sekali tidak terkesan basi. Ide yang digagasnya orisinal,
tanpa tendensi menghujat keyakinan tertentu, dan bisa diterima dengan
lapang tanpa kecurigaan atau was-was. Dan walau Han menyelipkan unsur
nonrealis dalam novelnya, hal itu tidak membuat novelnya menjadi aneh,
justru terasa kuat, dan akan membesarkan hati pemeluk keyakinan
bersangkutan.
Memang, dalam The Brother,
masih bisa ditemukan unsur provokatif yaitu ihwal Yudas Iskariot yang
menulis Injil Hitam.Yudas Iskariot dalam Injil digambarkan mati karena
gantung diri. Tetapi dalam buku ini, tepatnya dalam Injil Hitam, Yudas
digambarkan tidak mati kendati telah mencoba bunuh diri. Ia malah
bertobat, mendapatkan pengampunan Tuhan, dan melakukan perjalanan
mengabarkan Injil hingga bertemu dengan Sang Anak Manusia yang ia
ceritakan dalam tulisannya. Sebagai penulis, Georgius Han tidak
memperdebatkan kebenaran Injil Hitam dalam novelnya karena sudah jelas
Injil tulisan Yudas ini memang fiktif belaka. Dan karena fiksional,
pembaca –terutama pembaca kristiani- tidak perlu kebat-kebit
keyakinannya diobok-obok lagi setelah The Da Vinci Code dan karya lain sejenis. Apalagi, isi Injil Hitam sendiri tenyata sama sekali seharusnya
tidak dipercaya (oleh kedua kubu yang bertentangan dalam novel),
sehingga terasa konyol dan menggelikan ketika ada pihak-pihak yang
menjadi korban karena memercayainya. Seolah bagaikan sindiran Georgius
Han terhadap pembaca yang begitu saja percaya pada segala sesuatu yang
belum tentu benar tanpa berkeinginan mengkaji lebih dalam.
Dari
segi penulisan dan penjabaran alur, Han berhasil membentangkan novelnya
dengan rancak. Cerita yang awalnya berisikan kejadian-kejadian yang
seolah melompat-lompat menjadi sangat efektif untuk menciptakan minat
melahap habis novelnya. Tidak ada cerita yang dihadirkan tanpa
memperkuat keseluruhan novel. Tidak ada keinginan mengulur-ulur cerita
untuk memperbanyak halaman novel. Semua bermakna dan saling jalin menuju
akhir yang menjawab misteri yang sarat pesona. Untuk penulis baru,
Georgius Han telah melakukan gebrakan awal yang sangat eksplosif.
Mungkin
yang perlu mendapatkan penjelasan adalah penulisan isi Injil Hitam yang
menurut Han aslinya ditulis menggunakan bahasa Ibrani, salah satu
bahasa selain Aramaic dan Yunani yang sering dipakai dalam penulisan
kitab suci. Sepertinya, untuk menyesuaikan dengan penulisan Injil yang
dikenal saat ini, Han menciptakan ayat-ayat dalam Injil Hitam. Padahal
dalam naskah asli Injil tidak terdapat ayat-ayat. Pemberian ayat
dilakukan oleh penerjemahnya dalam rangka mempermudah pemahaman pembaca
yang tidak menggunakan bahasa asli Injil. Sehingga, jika, katakanlah,
Injil Hitam ditulis dengan pola yang sama, kita tidak akan menemukan
sistem penulisan seperti yang Han gunakan dalam novelnya.
Secara
keseluruhan, inilah salah satu novel karya penulis Indonesia yang patut
mendapatkan perhatian dan sayang jika dilewatkan begitu saja. Salut
buat Georgius Han untuk karya perdananya yang luar biasa!
2 comments:
Saya suka suka suka sekali dgn novel ini. Dari novel ini saya putuskan untuk buat nama Ovadya di belakang nama saya di setiap akun sosmed yg saya punya...
Kereeennnn..
Novel ini bagus kalo dijadikan film.
Aku baru mendapat buku ini senin kemaren dan rabu kemaren selesai membaca buku ini...luar biasa, penulis buku ini di beri anugerah dan bakat yang luar biasa dari Tuhan... Ditunggu buku-buku lainnya 💕
Post a Comment