Judul Buku: The Janissary Tree (Dalam Bayangan Pohon Yenicheri)
Penulis: Jason Goodwin (2006)
Penerjemah: Zia Anshor
Tebal: 479 hlm; 13 X 20 cm
Terbit: Cetakan 1, Maret 2008
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Penulis: Jason Goodwin (2006)
Penerjemah: Zia Anshor
Tebal: 479 hlm; 13 X 20 cm
Terbit: Cetakan 1, Maret 2008
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Jika Seorang Kasim Menjadi Detektif Tangguh
Pesona Istanbul mengusik Jason Goodwin, seorang penulis dan sejarawan Inggris, ketika ia mempelajari sejarah Bizantium di Cambridge University. Setelah sukses dengan karya berjudul A Time For Tea: Travels in China and India in Search of Tea (1990), bersama Kate, istrinya, Jason Goodwin menjelajahi Eropa Timur selama 6 bulan hingga tiba di Istanbul. Pengalaman ini diramu menjadi sebuah buku berjudul On Foot to the Golden Horn (1993) yang memenangkan John Llewelyn Rhys/Mail On Sunday Prize tahun 1993. Daya pikat Turki Usmani di Eropa Timur mendorong Jason Goodwin melanjutkan penelitiannya. Maka, lahirlah Lords of the Horizons: A History of the Ottoman Empire (1998) yang mendapatkan pujian dari koran New York Times. Tidak cukup hanya karya nonfiksi, Jason Goodwin kemudian memutuskan merambah dunia fiksi. Akhirnya, lahirlah novel perdananya yang diberi judul The Janissary Tree pada tahun 2006, di mana ia menghidupkan kembali Istanbul pada abad ke-19 dengan segala keeksotisannya. Novel ini mencatat kesuksesan, telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 38 bahasa dan memenangkan Edgar Award untuk Novel Terbaik tahun 2007.
Dalam
novel ini, Jason Doodwin menciptakan dan memperkenalkan karakter hero
yang tidak konvensional. Yashim Togalu, seorang kasim terpandang pada
masa pemerintahan Sultan Mahmut II. Menurut pengakuan Jason Goodwin,
Yashim telah menunggu-nunggu untuk dihidupkan dalam halaman buku sampai
ia mendapatkan satu latar masa yang tepat, Istanbul 1836. Lalu, atas
dorongan Daisy Goodwin, Jason memutuskan untuk menggunakan pendekatan
kisah detektif dengan latar Kesultanan Usmani. Orang-orang terdekatnya
membantu dari berbagai sisi. Dari saran agar novelnya menggunakan
pendekatan kisah detektif, penyesuaian cerita dan dialog, sampai pada menghindari
kegagalan kesinambungan cerita. Dari segi kostum dan adat-istiadat
abad ke-19, Jason mendapatkan bantuan dari film adaptasi novel Little Dorrit oleh Christine Edzard.
Dikisahkan
setelah mengabdi di harem sultan, dengan gelar sang lala atau sang
pelindung, Yashim bertugas menyelidiki masalah-masalah yang terjadi di
Kesultanan Usmani. Sebagai kasim, apa yang terjadi pada Yashim masih
lebih baik dari kasim-kasim berkulit hitam dari Sudan, termasuk Kislar
Agha, pimpinan kasim saat itu, yang tidak hanya dikerat buah pelirnya,
tetapi semua alat reproduksinya.
Di awal The Janissary Tree
diceritakan Yashim menghadap sang seraskier, komandan angkatan darat
kesultanan Usmani yang disebut Garda Baru. Sampai novel berakhir, kita
tidak akan menemukan nama sebenarnya dari sang seraskier. Sang
seraskier yang dalam pandangan Yashim lebih layak mengenakan serban,
lebih suka memakai pakaian seragam peperangan modern ala Prancis.
Pada
saat dipanggil, Yashim baru kembali dari Krimea, menyelidiki kondisi
bangsa Tartar yang telah jatuh dalam kekuasaan orang Kazak (Rusia).
Bangsa Tartar Krimea yang dikenal sebagai pejuang tangguh, telah
menjadi tidak disiplin, dan akhirnya takluk oleh orang Kazak. Menurut
sang seraskier, orang-orang seperti bangsa Kazak-lah yang membuat Garda
Baru diperlukan oleh kesultanan Usmani. Kenyataannya, Garda Baru yang
ditempa oleh pelatih Eropa, tidak bisa melawan Mesir dan Yunani. Hanya
satu catatan kemenangan mereka. Kemenangan yang tidak mereka peroleh
dari medan perang, kemenangan saat mereka menghabiskan pendahulu
mereka, Korps Yenicheri.
Korps Yenicheri dibentuk sejak abad ke-14 untuk menjadi pasukan andalan kesultanan Usmani. Dalam bahasa Turki, mereka disebut yeniçeri
yang berarti "pasukan baru". Mereka berasal dari anak-anak lelaki
Kristen yang terpilih dari pajak manusia, dipaksa meninggalkan
keyakinan mereka untuk menjadi mesin perang melawan Eropa. Pada tahun
1453, mereka telah berperan dalam penaklukan Konstantinopel (Istanbul),
ibu kota kekaisaran Byzantium, oleh Sultan Mehmed yang menandakan
runtuhnya kekaisaran Byzantium. Dari awalnya sebagai pasukan elit
sultan, Korps Yenicheri menjelma mafia bersenjata yang
petantang-petenteng di jalan-jalan Istanbul, menciptakan teror,
kerusuhan, penjarahan, dan pemerasan tanpa tersentuh hukum. Mereka juga
menciptakan kebakaran guna mendapatkan keuntungan, karena saat itu
memadamkan kebakaran adalah tugas rangkap mereka. Berbagai usaha untuk
memberantas korps ini gagal, bahkan pada tahun 1618 mereka membunuh
Sultan Osman yang menentang mereka.
Yenicheri memiliki kebiasaan berkumpul di bawah sebatang pohon chinar
yang tumbuh di lapangan terbuka Ameidan. Di bawah pohon itu, mereka
berbagi keluhan dan rahasia serta merencanakan pemberontakan. Dan pada
cabang-cabang pohonnya, mereka menggantung mayat orang-orang yang
menentang mereka.
Sebagian
besar dari anggota Yenicheri menganut Karagozi, aliran yang percaya
bahwa ada berbagai cara mengabdi kepada Allah dan mengikuti Nabi
Muhammad. Meski salat di masjid, mereka berkumpul dan beribadah di
tempat yang disebut 'tekke'. Bergaya islami, tetapi mengabaikan Quran,
bahkan membaurkan misteri dan tahayul dalam keyakinan mereka.
Setelah
300 tahun berjaya, pada malam 16 Juni 1826, mereka dihancurkan oleh
pasukan Garda Baru yang baru didirikan. Pada hari yang kemudian
dikenang banyak orang sebagai 'Saat Kejayaan' itu, ribuan Yenicheri
tewas secara mengenaskan.
Yashim
dipanggil sang seraskier, sebab tidak lama lagi sultan akan mengadakan
peninjauan. Selain bertujuan melihat perkembangan latihan Garda Baru,
sultan akan mengeluarkan maklumat untuk mengadakan reformasi di
kesultanan. Sang seraskier ingin peninjauan sultan sukses agar Garda
Baru bisa meraih kepercayaan rakyat dan sultan. Tetapi, ada kejadian
yang mengganggu, yang tidak bisa ditolerir sang seraskier. Empat perwira
Garda Baru, pemuda-pemuda cakap terpilih, menghilang dari barak.
Seorang ditemukan tewas dalam sebuah belanga besi besar berkaki tiga.
Orman Berek, begitu identitas korban, ditemukan dalam keadaan tidak
berwajah, terpapas habis dari bawah dagu hingga di atas alis.
Untuk
itu, sang seraskier minta pertolongan Yashim yang sepulangnya dari
Krimea, sedang tidak terikat dengan pekerjaan lain. Yashim diharapkan
bisa menemukan 3 prajurit lain di Istanbul, kota terbesar di dunia yang
berpenduduk 2 juta jiwa.
Di
dalam penyelidikan Yashim, di berbagai tempat, sembari menemukan
kematian demi kematian yang mengenaskan, ia menemukan jejak-jejak
Yenicheri. Juga seiring dengan investigasinya, mayat demi mayat
ditemukan. Berdasarkan gagasan sahabatnya, Stanislaw Palewski, duta
besar Polandia untuk Sublime Porte, yang dilihat dari lokasi penemuan
mayat, Yashim menemukan pola pekerjaan si pembunuh.
Sebuah
pertanyaan mengusik Yashim, apakah setelah dihancurkan 10 tahun lalu,
sisa-sia Korps Yenicheri melakukan pembalasan dendam, mengingat
korbannya anggota Garda Baru? Atau adakah motif lain? Jika demikian,
siapa sesungguhnya yang membunuh 4 anggota Garda Baru itu? Apakah Graf
Potemkin, atase muda Rusia, dengan siapa ke-4 anggota Garda Baru itu
terakhir terlihat ada hubungannya dengan pembunuhan ini?
Sementara itu, dalam Istana Topkapi, tempat sultan bersemayam, seorang gözde,
dara jelita yang terpilih untuk menemani Sultan, ditemukan tewas dan
permata-permata milik Validé Sultan, sang ibu suri, yang dikenakannya
lenyap. Masalah bertambah, pertanyaan pun bertambah. Apakah pembunuhan
ini ada hubungannya dengan hilangnya dan tewasnya keempat prajurit
Garda Baru?
Setelah
berbagai peristiwa terjadi, bahkan sampai mengancam kehidupan Yashim,
misteri pembunuhan anggota Garda Baru dan si gözde jelita akan
tersingkap pada bagian-bagian akhir novel, memberi jawaban bagi pembaca
yang mungkin telah menebak-nebak sejak awal. Menyusul penyingkapan
ini, kita akan dikejutkan dengan gagasan 'pembedahan' untuk mengenyahkan
'sumber penyakit' dari salah satu tokoh novel.
The Janissary Tree tak pelak lagi hadir sebagai novel thriller dengan misteri beraroma politik dalam lingkup kesultanan Usmani. Ia memiliki keunggulan-keunggulan sendiri yang menobatkannya sebagai novel brilian yang layak dibaca. Keeratan Jason Goodwin dengan sejarah dan budaya Turki berhasil menciptakan seting novel yang cemerlang, bermuatan kisah detektif dengan investigasi mendebarkan yang dipadukan dengan fakta-fakta sejarah. Ke dalamnya, penulis mengimbuhkan kisah asmara berbumbu seks yang tak terbayangkan (bayangkan bagaimana caranya kasim memuaskan hasrat seksual perempuan), cinta terselubung gundik sultan yang beraroma lesbian, kekerasan seksual seorang kasim, dan persahabatan yang tidak biasa dalam racikan humor memadai.
The Janissary Tree tak pelak lagi hadir sebagai novel thriller dengan misteri beraroma politik dalam lingkup kesultanan Usmani. Ia memiliki keunggulan-keunggulan sendiri yang menobatkannya sebagai novel brilian yang layak dibaca. Keeratan Jason Goodwin dengan sejarah dan budaya Turki berhasil menciptakan seting novel yang cemerlang, bermuatan kisah detektif dengan investigasi mendebarkan yang dipadukan dengan fakta-fakta sejarah. Ke dalamnya, penulis mengimbuhkan kisah asmara berbumbu seks yang tak terbayangkan (bayangkan bagaimana caranya kasim memuaskan hasrat seksual perempuan), cinta terselubung gundik sultan yang beraroma lesbian, kekerasan seksual seorang kasim, dan persahabatan yang tidak biasa dalam racikan humor memadai.
Jason
Goodwin juga memiliki keprigelan dalam hal karakterisasi. Semua
karakter yang dihadirkan dengan mudah bisa dibayangkan di benak
pembaca. Meski ada yang berpendapat bahwa deskripsi karakter akan
mengganggu imajinasi pembaca, saya suka dengan cara Jason Goodwin
menggambarkan karakter-karakternya. Coba baca bagaimana dia
menggambarkan Yashim; Palewski; Sultan Mahmut II; sang seraskier;
Validé Sultan; Eugenia, istri duta besar Rusia, Nikolai Derentsov; atau Preen, seorang penari köçek.
Novel
ini menjadi terkesan unik karena ditulis oleh penulis non-Turki dengan
pengetahuan sejarah Turki yang matang. Jason Goodwin memang bukan
Orhan Pamuk (novelis Turki yang menulis novel misteri gemilang
berseting Turki abad ke-16, Benim Adim Kirmizi -Namaku Merah Kirmizi),
tetapi ia bisa membentangkan lanskap Turki di masa lampau dengan
mumpuni. Kita bisa melihat kedekatan batinnya dengan masa lampau Turki
di dalam pelukisannya tentang jalan-jalan, masjid, menara, kedai kopi,
istana, harem, dan hammam, bahkan hingga pada busana, masakan, dan
tarian darwis.
Akhirnya, oleh Jason Goodwin, petualangan Yashim Togalu telah mantap dijadikan serial. Setelah The Janissary Tree, kita akan menemukan kiprah Yashim dalam novel Goodwin selanjutnya, The Snake Stone (2007) dan The Bellini Card (2008).
2 comments:
Beli bukunya dimana ya ? Infoin dong ke email saya anggaariputra@gmail.com
Beli bukunya dimana ya ? Infoin dong ke email saya anggaariputra@gmail.com
Post a Comment