06 February 2012

Laras


Judul Buku: Laras (Tubuhku Bukan Milikku)
Penulis: Damhuri Muhammad
Tebal: 228 glm; 11,5 x 17 cm
Cetakan: 1, Maret 2005
Penerbit: Dastan Books





 

Membaca antologi cerpen Damhuri Muhammad ternyata memiliki keasyikan tersendiri. Kepiawaiannya meracik cerita benar-benar bisa diperhitungkan. Ia meramu pengalaman dan pengamatan menjadi perpaduan yang kendati sederhana, mempunyai daya pikat yang tidak bisa diabaikan. Sehingga karyanya memberi efek memikat untuk dicernak.

Damhuri menyentil emaskulasi eksistensi lelaki dalam budaya asalnya. Menyindir fenomena sosial-politik dengan elemen satiris yang tepat dosis tanpa kesan hiperbolis. Ia juga mengeksplorasi isu transaksi seksual secara telanjang dan blak-blakan.

Membaca Telinga-telinga yang Berpuasa, Elegi Tukang Kursi, Hikayat Negeri Sayembara atau Tamasya ke Museum Kata-kata, pembaca segera diantar dengan rambu-rambu yang jelas untuk memahami maksud penulis. Permainan simbol yang pas dan tepat sasaran.

Membaca kisah-kisah Damhuri, kita akan diperkenalkan dengan berbagai karakter. Laki-laki yang tercampak dari rumpunnya karena menikahi perempuan lain suku (Laki-laki dari Negeri Kutukan). Si Buyung yang mengalami transisi dari tukang cebok di Rumah Makan Padang ke tukang cebok perempuan sebaya ibunya (Lelaki Ibu). Fhir yang mencatatkan namanya dalam sejarah persundalan karena berhasil membuat Geisya sang primadona menggantung kutang (Gadis Kecil Bermata Cokelat)--tapi kemudian si Geisya tetap kembali ke selera asal. Jauhara, mantan gigolo yang tidak mendapatkan liang lahat di tanah kelahirannya, karena liang lahatnya memang beda (Liang Lahat Jauhara). Laras yang terus bertanya-tanya sepanjang hidup soal pemilik dirinya, tubuhnya (Laras). Atau Jagad yang menjahit kain bendera merah-putih menjadi celana pendek dalam cerpen kocak Riwayat Selembar Kain Bendera.

Membaca teknik pemaparan materi seksual Damhuri, tak pelak mengingatkan saya pada beberapa penulis perempuan yang begitu lepas dan bebas membincang seks. Bedanya Damhuri membalut seks yang disajikannya dengan sentuhan humor yang menggelitik.

Membaca antologi Damhuri hanya akan menjadi sesuatu yang menarik bagi pembaca dewasa, dan memang tanpa dinyatakan sudah jelas segmen mana target baca cerpen-cerpen Damhuri, sekalipun atas nama sastra misalnya.

Satu-satunya cerpen yang agak membuat saya tercenung adalah Laki-laki dari Negeri Kutukan. Ceritanya tentu saja sudah oke, tapi hebat betul si Ningsih, sang narator. Tukang nguping yang tajam dan serba tahu. Tidak kalah canggih dengan Pariyem (Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi). Karena deskripsi latar belakang Ningsih tidak jelas, saya menebak, dari gaya tuturnya yang imajinatif -sampai ke aktivitas seksual majikannya- minimal Ningsih lulusan Akademi Keperawatan-lah. Kalau misalnya Ningsih tidak pernah lulus sekolah, aneh rasanya kalau bisa menarasikan kisah malang sang laki-laki dari negeri kutukan dengan cerdas seolah-olah dia seorang Damhuri Muhammad.

Menurut saya mungkin akan lebih rancak kisah Ningsih itu jika dituturkan menggunakan perspektif orang ketiga, dan dibidik lewat sisi Ningsih, tentu saja.

Tapi, membaca antologi Laras (Tubuhku Bukan Milikku) ini jelas tidak mengecewakan. Dengan terus mengasah ketajaman berkaryanya, tidak tertutup kemungkinan jika di masa-masa mendatang nama Damhuri akan berkibar seperti bendera pada cerpen Riwayat Selembar Kain Bendera di dunia kesusastraan Indonesia.

Kita lihat saja nanti.


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan