11 February 2012

Mahasati

 

Judul Buku: Mahasati
Penulis: Qaris Tajudin
Penyunting: Aries R. Prima
Tebal: 396 halaman
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: PT Andal Krida Nusantara (AKOER)



Kenangan, Lautan Cinta, dan Kitab Air Mata



Ribuan tahun silam seorang raja penyair nan bijaksana -Sulaiman- pernah mengumandangkan kata-kata yang menggambarkan kedahsyatan cinta. Kira-kira begini katanya, "Cinta kuat seperti maut, air yang banyak tak dapat memadamkannya, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya". Mahasati, novel perdana Qaris Tajudin, jurnalis koran dan majalah Tempo, kembali mengumandangkan cinta seperti yang digambarkan raja itu. Cinta yang begitu gigih, tak pernah padam, dan tak sanggup dihanyutkan oleh arus waktu. Cinta seorang lelaki, yang menggumpal dalam kenangan, menghancurkan hati, tapi juga memberikan stamina untuk bertahan.

Setelah 10 tahun berpisah Andi bertemu dengan Larasati (Sati) pada saat pemakaman teman mereka, Yoyok alias Item, si perajin emas. Kembang cinta yang pernah mekar di antara mereka, merekah kembali dalam wujud yang lebih dewasa. Andi telah menjadi wartawan, sedangkan Sati setelah sebelumnya menjadi model, bekerja sebagai perancang busana. Sama-sama belum terikat pernikahan, meski Sati telah memiliki seorang anak perempuan berusia 8 tahun –Rania- produk hubungan ekstramarital dengan lelaki beristri.

Keadaan Sati tidak mempengaruhi cinta Andi. Cinta Andi sanggup menerima segala kekurangan Sati. Sungguhpun demikian, tidak terkilas di benak Andi untuk segera meminang Sati, kendati mereka telah terjebak dalam hubungan suami-istri. Di tengah hubungan cinta mereka, Sati mesti merelakan kepergian Rania karena diambil ayah kandung anak itu. Andi tak dapat menolong kekasihnya, bahkan hingga Sati menenggak Valium yang berakhir dengan kematiannya. 

Kematian Sati melayangkan pukulan telak ke dalam hidup Andi, membekaskan penyesalan dan rasa bersalah. Pekerjaannya menjadi kacau balau karena kehilangan fokus. Ia memutuskan mengambil cuti dan meretas jalan ke Kairouan, Tunisia. Tapi, di sana, tanpa ia duga, ia tersangkut aksi teror sekelompok aktivis Islam garis keras yang menentang pemerintahan Tunisia. Andi segera masuk daftar cekal dan terancam diciduk. Miriam Ezra, seorang gadis Yahudi, yang bersimpati kepada Andi, menolong pelarian Andi dan Ahmed, seorang calon dokter, meninggalkan Tunisia, menuju Sisilia, Italia. 

Ternyata Miriam menolong mereka menggunakan jalur mafia Italia. Mereka dipertemukan dengan sosok mafia yang tiba-tiba bermaksud menjadikan mereka sandera gara-gara transaksi yang terhambat dengan Hadar Ezra, ayah Miriam. Atas bantuan Tumino, yang menganggap dirinya sebagai Obi Wan-Kenobi dan Andi sebagai Anakin Skywalker, Andi dan Ahmed meninggalkan Italia. Mereka memutuskan menuju Afghanistan, merintis perjalanan laksana Che Guevara, dan terdampar di sebuah rumah sakit di Jalalabad pada saat Afghanistan berada di bawah pemerintahan Taliban. 

Pertemuan dengan Fairuz membuat Andi memutuskan untuk menjadi anggota pengawal bersenjata yang melindungi keluarga suku nomaden Afghanistan dari serangan begal. Dalam perjalanan menyusuri persilihan musim di pegunungan Hindu Kush, Andi terjerat pesona kecantikan perempuan Hindu Kush bernama Nafas. 

"Janganlah bersedih, karena cintamu sudah digariskan. Martirlah mereka yang mati mencari cinta. Kau ditakdirkan untuk selalu berlalu di lautan cinta tanpa pernah berlabuh. Seluruh umurmu adalah kitab air mata. Kau ditakdirkan terpenjara di antara air dan api." (hlm.250). Demikian kata-kata peramal wanita di Ragusa ketika membaca kehidupan Andi. Meski Andi tak percaya, kata-kata ini terus membuntuti sampai akhir hidupnya. 

Dari Afghanistan, ia terjaring tentara Amerika, yang meraupnya dari tanah Afghanistan, dan mengempaskannya ke penjara di Guantanamo bersama ratusan tawanan perang lain. Setelah interogasi 2 bulan yang gagal –disertai tindakan kekerasan- oleh tentara Amerika, akhirnya penanganan Andi diserahkan pada perempuan perwira  Amerika bernama Lucia Wong. 

Kepada Lucia Wong lah akhirnya Andi mau membuka mulut dan membagi kenangan hidupnya. Tapi tidak tuntas pada saat interogasi, karena kesehatan Andi semakin memburuk dengan berlalunya waktu. Kepada Lucia Wong, selain menitipkan gelang kaki dan sapu tangan milik Larasati, Andi meninggalkan dua buku hasil tulisan tangannya. Hasil percakapan, kenangan, dan isi buku yang ditinggalkan Andi inilah yang kemudian kita baca dalam novel Mahasati ini.

Dalam sebuah percakapan antara Andi dan Sati mengenai keberadaan cinta di surga (hlm. 79), terungkaplah makna dari Mahasati. Sati, yang dalam bahasa Sansekerta berarti istri sejati, adalah kebiasaan perempuan India melakukan bunuh diri saat suaminya meninggal. Caranya dengan masuk ke dalam api perabuan sang suami. Tindakan ini dilakukan dengan harapan sang istri bisa tetap bersama suaminya di alam baka. Kendati awalnya hanya mitos, kebiasaan ini tetap dilakukan sebelum dilarang pada masa penjajahan Inggris. Untuk mengenang perempuan-perempuan yang melakukan sati, didirikan patung yang akan dipuja secara berkala yang disebut Mahasati.

Sati mengatakan pada Andi jika ia tidak ingin dikenang dengan cara sati. Tapi lalu bertanya pada kekasihnya, "Apa kau memilih untuk hancur saat aku mati nanti, atau kau memilih untuk melanjutkan  hidup dan mengganggap tak ada cinta di surga?" (hlm. 80). 

Saat itu Andi tak menjawab. Tapi sepeninggal Sati, meski harus melanjutkan hidup, jelas-jelas Andi memilih pilihan pertama, hancur dan mengisbatkan dirinya sebagai Mahasati lelaki. Masih dalam wujud Mahasati inilah akhirnya Andi menemukan dirinya berakhir di Guantanamo di hadapan perwira Amerika berdarah Cina yang tertarik dengan kehidupannya. 

Secara keseluruhan Mahasati merupakan novel yang cukup menarik. Walaupun bertolak dari pelabuhan cinta, isi novel tidak hanya bergerak-gerak di lautan cinta. Ia juga meniti keras dan getasnya daratan, menyinggahi berbagai tempat dengan gelegak konflik, menjadikan novel ini sebagai kisah perjalanan seorang lelaki memaknai hidup dan cintanya serta menghadapi kepengecutan dirinya. Cerita disampaikan dengan cerdas dan terkadang puitis. Di sana-sini, kita bisa membaca taburan puisi yang terserak dari imajinasi penyair-penyair seperti W. S. Rendra, Goenawan Mohammad, Abdul Hadi, Nizar Qabbani, dan George Mackay Brown. Qaris rupanya penggemar puisi, sehingga tidak cukup melontarkan kalimat-kalimat puitis ciptaan sendiri, ia juga meminjam kalimat-kalimat puitis para penyair tersebut. Yang paling menarik adalah puisi Nizar Qabbani  yang secara lengkap bisa disimak di halaman 373 – 375.

Sebetulnya plot yang digerakkan Qaris tidaklah sangat istimewa. Seorang lelaki patah hati, membawa luka hatinya, mencoba membenamkan ke balik tabir kenangan, dan menghadapi pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya. Hanya oleh Qaris, lelaki ini tidak dibawa pergi ke tempat-tempat indah penuh ketenangan yang mungkin bisa menjadi spons bagi kepedihannya. Ia malah dibawa pergi ke tempat konflik siap tersulut dan berbagai peristiwa tak terduga dengan mudah terpercik menjadi bara api. Agak aneh juga. Tapi itulah yang dipilih Qaris untuk karakter utamanya. Kemungkinan pemilihan Tunisia dan Afghanistan sebagai latar dipengaruhi oleh pengalaman Qaris sebagai jurnalis yang pernah bersinggungan dengan wilayah-wilayah tersebut. Tapi hal ini pasti telah direncanakan oleh Qaris dengan saksama melihat dari mana novel ini bergulir, Guantanamo. Penggunaaan Tunisia dan Afghanistan sebagai latar bahkan memberikan sentuhan daya tarik ke dalam alur cerita. Penguasaan latar yang ditunjukkan oleh Qaris membuat kisah yang diusungnya menjadi hidup dan menarik untuk disusur. 

Andi Djatmika, karakter utama novel, adalah karakter Romeo ciptaan Qaris yang menarik. Cintanya terasa menyentuh, tapi sekaligus menggugat. Di tengah penghakiman sejumlah perempuan mengenai cinta lelaki yang tak bisa dipercaya dan jauh dari kesejatian, Qaris menunjukkan bahwa penghakiman kaum perempuan itu tidak selamanya benar. Lelaki, bisa juga terluka oleh cinta. Lelaki, bisa juga membawa mati cintanya. Meminjam ungkapan Nizar Qabbani, lelaki juga memiliki cinta dengan keganasan Tartar, kehangatan savana, dan derasnya hujan. Tak heran, Lucia Wong terkesima dan minder karena menemukan cinta seperti yang dimiliki sang tahanan. Dengan menggoda, Qaris memaparkan bahwa Lucia, saking terpesonanya, ingin menggali lebih dalam kisah cinta yang kadung termeterai dalam hati Andi. Untuk ia pinjam sebelum ia memilikinya sendiri.

Kematian Larasati adalah motor penggerak perjalanan Andi. Sebelum menuliskan hal-hal penting yang menyebabkan kematian Larasati, sebaiknya Qaris melakukan sedikit riset. Pada halaman 102, Qaris mengungkapkan jika Larasati menenggak 4 butir Valium 500 gram (menurut pengakuan Larasati hanya 3 butir yang tertelan). Saya berasumsi, Valium yang dimaksud adalah tablet Valium, karena secara oral, Valium hanya tersedia dalam bentuk tablet, bukan bentuk lain seperti kapsul. Masalahnya di sini, Qaris menyebutkan 500 gram. Bukan jumlah yang sedikit. 500 miligram saja sudah tidak mungkin untuk dosis Valium -mengandung zat bernama diazepam, sejenis hipnotik dan sedatif- karena ia tidak sama dengan aspirin atau ampisilin. Tidak ada Valium dengan kandungan 500 miligram, apalagi 500 gram per tablet. Coba bayangkan bentuk tablet dengan diazepam seberat 500 gram (belum lagi berat zat tambahan yang digunakan untuk membuat tablet). 

Akibatnya penyebab kematian Larasati menjadi mentah. Apalagi, kemudian disebutkan jika 3 butir Valium yang tertelan berpengaruh pada Larasati, yang mendadak, tanpa disinggung sebelumnya, mengidap kelemahan jantung. Jika Qaris menggunakan Valium untuk mengatalisasi kematian Larasati, setidaknya ia memiliki pengetahuan takaran Valium yang ada dan kuantitas yang memiliki kontraindikasi terhadap kelemahan jantung, jika ada. Kesalahan Qaris tentu saja mengganggu kelogisan cerita yang ia sampaikan.

Dalam percakapan antara Lucia Wong dan Andi Djatmika, juga ditemukan kalimat-kalimat yang terkesan janggal.  Misalnya, jawaban Andi ketika Lucia menanyakan respons keluarga atas keputusannya pergi ke Tunisia (hlm. 143). Lucia: "Bagaimana dengan keluargamu?" Andi: "Ibu menyetujui rencanaku. Apalagi saat kuberitahu bahwa kepergianku ini untuk menemukan kembali diriku yang sempat hilang. Katanya, 'Ibu hanya bisa berdoa. Hanya satu pesan ibu, jangan pernah melupakan orang yang pernah membantumu. Di rantau, mereka adalah keluargamu'.  "Aku mencium tangannya. Ia mengelus rambutku dan mencium ubun-ubunku. Ciuman terakhir yang aku terima darinya hinggi kini. Ia tak menangisi kepergianku, karena ia tahu, anaknya akan segera kembali dengan kabar baik dari Tuhan."  Mengharukan, tapi rasanya janggal Andi mengucapkan  kalimat seperti ini pada saat interogasi. Tapi, tentu saja, ini cuma persepsi saya.

Secara umum, terbitan Akoer sudah lebih baik dari terbitan sebelumnya, jika melihat ukuran huruf yang dipakai. Tidak kecil-kecil, sehingga melelahkan mata. Sayangnya, usaha ini tidak diimbangi dengan kualitas cetak yang bagus. Selain pada beberapa halaman tulisannya mengabur, masih terdapat sejumlah kesalahan cetak yang mengganggu. Dan omong-omong, catatan kaki (footnote) letaknya di 'kaki' setiap halaman, bukan di akhir buku (endnote). 

Agaknya, satu kali penyuntingan perlu dilakukan lagi untuk menyiangi naskah, supaya novel perdana Qaris Tajudin ini tampil lebih bersinar.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan