Judul Buku: Mahasati
Penulis: Qaris Tajudin
Penyunting: Aries R. Prima
Tebal: 396 halaman
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: PT Andal Krida Nusantara (AKOER)
Kenangan, Lautan Cinta, dan Kitab Air Mata
Ribuan tahun silam seorang raja penyair nan bijaksana -Sulaiman- pernah mengumandangkan kata-kata yang menggambarkan kedahsyatan cinta. Kira-kira begini katanya, "Cinta kuat seperti maut, air yang banyak tak dapat memadamkannya, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya". Mahasati, novel perdana Qaris Tajudin, jurnalis koran dan majalah Tempo, kembali mengumandangkan cinta seperti yang digambarkan raja itu. Cinta yang begitu gigih, tak pernah padam, dan tak sanggup dihanyutkan oleh arus waktu. Cinta seorang lelaki, yang menggumpal dalam kenangan, menghancurkan hati, tapi juga memberikan stamina untuk bertahan.
Setelah
10 tahun berpisah Andi bertemu dengan Larasati (Sati) pada saat
pemakaman teman mereka, Yoyok alias Item, si perajin emas. Kembang cinta
yang pernah mekar di antara mereka, merekah kembali dalam wujud yang
lebih dewasa. Andi telah menjadi wartawan, sedangkan Sati setelah
sebelumnya menjadi model, bekerja sebagai perancang busana. Sama-sama
belum terikat pernikahan, meski Sati telah memiliki seorang anak
perempuan berusia 8 tahun –Rania- produk hubungan ekstramarital dengan
lelaki beristri.
Keadaan
Sati tidak mempengaruhi cinta Andi. Cinta Andi sanggup menerima segala
kekurangan Sati. Sungguhpun demikian, tidak terkilas di benak Andi untuk
segera meminang Sati, kendati mereka telah terjebak dalam hubungan
suami-istri. Di tengah hubungan cinta mereka, Sati mesti merelakan
kepergian Rania karena diambil ayah kandung anak itu. Andi tak dapat
menolong kekasihnya, bahkan hingga Sati menenggak Valium yang berakhir
dengan kematiannya.
Kematian
Sati melayangkan pukulan telak ke dalam hidup Andi, membekaskan
penyesalan dan rasa bersalah. Pekerjaannya menjadi kacau balau karena
kehilangan fokus. Ia memutuskan mengambil cuti dan meretas jalan ke
Kairouan, Tunisia. Tapi, di sana, tanpa ia duga, ia tersangkut aksi
teror sekelompok aktivis Islam garis keras yang menentang pemerintahan
Tunisia. Andi segera masuk daftar cekal dan terancam diciduk. Miriam
Ezra, seorang gadis Yahudi, yang bersimpati kepada Andi, menolong
pelarian Andi dan Ahmed, seorang calon dokter, meninggalkan Tunisia,
menuju Sisilia, Italia.
Ternyata
Miriam menolong mereka menggunakan jalur mafia Italia. Mereka
dipertemukan dengan sosok mafia yang tiba-tiba bermaksud menjadikan
mereka sandera gara-gara transaksi yang terhambat dengan Hadar Ezra,
ayah Miriam. Atas bantuan Tumino, yang menganggap dirinya sebagai Obi
Wan-Kenobi dan Andi sebagai Anakin Skywalker, Andi dan Ahmed
meninggalkan Italia. Mereka memutuskan menuju Afghanistan, merintis
perjalanan laksana Che Guevara, dan terdampar di sebuah rumah sakit di
Jalalabad pada saat Afghanistan berada di bawah pemerintahan Taliban.
Pertemuan
dengan Fairuz membuat Andi memutuskan untuk menjadi anggota pengawal
bersenjata yang melindungi keluarga suku nomaden Afghanistan dari
serangan begal. Dalam perjalanan menyusuri persilihan musim di
pegunungan Hindu Kush, Andi terjerat pesona kecantikan perempuan Hindu
Kush bernama Nafas.
"Janganlah
bersedih, karena cintamu sudah digariskan. Martirlah mereka yang mati
mencari cinta. Kau ditakdirkan untuk selalu berlalu di lautan cinta
tanpa pernah berlabuh. Seluruh umurmu adalah kitab air mata. Kau
ditakdirkan terpenjara di antara air dan api." (hlm.250). Demikian
kata-kata peramal wanita di Ragusa ketika membaca kehidupan Andi. Meski
Andi tak percaya, kata-kata ini terus membuntuti sampai akhir hidupnya.
Dari
Afghanistan, ia terjaring tentara Amerika, yang meraupnya dari tanah
Afghanistan, dan mengempaskannya ke penjara di Guantanamo bersama
ratusan tawanan perang lain. Setelah interogasi 2 bulan yang gagal
–disertai tindakan kekerasan- oleh tentara Amerika, akhirnya penanganan
Andi diserahkan pada perempuan perwira Amerika bernama Lucia Wong.
Kepada
Lucia Wong lah akhirnya Andi mau membuka mulut dan membagi kenangan
hidupnya. Tapi tidak tuntas pada saat interogasi, karena kesehatan Andi
semakin memburuk dengan berlalunya waktu. Kepada Lucia Wong, selain
menitipkan gelang kaki dan sapu tangan milik Larasati, Andi meninggalkan
dua buku hasil tulisan tangannya. Hasil percakapan, kenangan, dan isi
buku yang ditinggalkan Andi inilah yang kemudian kita baca dalam novel Mahasati ini.
Dalam
sebuah percakapan antara Andi dan Sati mengenai keberadaan cinta di
surga (hlm. 79), terungkaplah makna dari Mahasati. Sati, yang dalam
bahasa Sansekerta berarti istri sejati, adalah kebiasaan perempuan India
melakukan bunuh diri saat suaminya meninggal. Caranya dengan masuk ke
dalam api perabuan sang suami. Tindakan ini dilakukan dengan harapan
sang istri bisa tetap bersama suaminya di alam baka. Kendati awalnya
hanya mitos, kebiasaan ini tetap dilakukan sebelum dilarang pada masa
penjajahan Inggris. Untuk mengenang perempuan-perempuan yang melakukan
sati, didirikan patung yang akan dipuja secara berkala yang disebut
Mahasati.
Sati mengatakan pada Andi jika ia tidak ingin dikenang dengan cara sati. Tapi lalu bertanya pada kekasihnya, "Apa kau memilih untuk hancur saat aku mati nanti, atau kau memilih untuk melanjutkan hidup dan mengganggap tak ada cinta di surga?" (hlm. 80).
Saat
itu Andi tak menjawab. Tapi sepeninggal Sati, meski harus melanjutkan
hidup, jelas-jelas Andi memilih pilihan pertama, hancur dan mengisbatkan
dirinya sebagai Mahasati lelaki. Masih dalam wujud Mahasati inilah
akhirnya Andi menemukan dirinya berakhir di Guantanamo di hadapan
perwira Amerika berdarah Cina yang tertarik dengan kehidupannya.
Secara
keseluruhan Mahasati merupakan novel yang cukup menarik. Walaupun
bertolak dari pelabuhan cinta, isi novel tidak hanya bergerak-gerak di
lautan cinta. Ia juga meniti keras dan getasnya daratan, menyinggahi
berbagai tempat dengan gelegak konflik, menjadikan novel ini sebagai
kisah perjalanan seorang lelaki memaknai hidup dan cintanya serta
menghadapi kepengecutan dirinya. Cerita disampaikan dengan cerdas dan
terkadang puitis. Di sana-sini, kita bisa membaca taburan puisi yang
terserak dari imajinasi penyair-penyair seperti W. S. Rendra, Goenawan
Mohammad, Abdul Hadi, Nizar Qabbani, dan George Mackay Brown. Qaris
rupanya penggemar puisi, sehingga tidak cukup melontarkan
kalimat-kalimat puitis ciptaan sendiri, ia juga meminjam kalimat-kalimat
puitis para penyair tersebut. Yang paling menarik adalah puisi Nizar
Qabbani yang secara lengkap bisa disimak di halaman 373 – 375.
Sebetulnya
plot yang digerakkan Qaris tidaklah sangat istimewa. Seorang lelaki
patah hati, membawa luka hatinya, mencoba membenamkan ke balik tabir
kenangan, dan menghadapi pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya.
Hanya oleh Qaris, lelaki ini tidak dibawa pergi ke tempat-tempat indah
penuh ketenangan yang mungkin bisa menjadi spons bagi kepedihannya. Ia
malah dibawa pergi ke tempat konflik siap tersulut dan berbagai
peristiwa tak terduga dengan mudah terpercik menjadi bara api. Agak aneh
juga. Tapi itulah yang dipilih Qaris untuk karakter utamanya.
Kemungkinan pemilihan Tunisia dan Afghanistan sebagai latar dipengaruhi
oleh pengalaman Qaris sebagai jurnalis yang pernah bersinggungan dengan
wilayah-wilayah tersebut. Tapi hal ini pasti telah direncanakan oleh
Qaris dengan saksama melihat dari mana novel ini bergulir, Guantanamo.
Penggunaaan Tunisia dan Afghanistan sebagai latar bahkan memberikan
sentuhan daya tarik ke dalam alur cerita. Penguasaan latar yang
ditunjukkan oleh Qaris membuat kisah yang diusungnya menjadi hidup dan
menarik untuk disusur.
Andi
Djatmika, karakter utama novel, adalah karakter Romeo ciptaan Qaris
yang menarik. Cintanya terasa menyentuh, tapi sekaligus menggugat. Di
tengah penghakiman sejumlah perempuan mengenai cinta lelaki yang tak
bisa dipercaya dan jauh dari kesejatian, Qaris menunjukkan bahwa
penghakiman kaum perempuan itu tidak selamanya benar. Lelaki, bisa juga
terluka oleh cinta. Lelaki, bisa juga membawa mati cintanya. Meminjam
ungkapan Nizar Qabbani, lelaki juga memiliki cinta dengan keganasan
Tartar, kehangatan savana, dan derasnya hujan. Tak heran, Lucia Wong
terkesima dan minder karena menemukan cinta seperti yang dimiliki sang
tahanan. Dengan menggoda, Qaris memaparkan bahwa Lucia, saking
terpesonanya, ingin menggali lebih dalam kisah cinta yang kadung
termeterai dalam hati Andi. Untuk ia pinjam sebelum ia memilikinya
sendiri.
Kematian
Larasati adalah motor penggerak perjalanan Andi. Sebelum menuliskan
hal-hal penting yang menyebabkan kematian Larasati, sebaiknya Qaris
melakukan sedikit riset. Pada halaman 102, Qaris mengungkapkan jika
Larasati menenggak 4 butir Valium 500 gram (menurut pengakuan Larasati
hanya 3 butir yang tertelan). Saya berasumsi, Valium yang dimaksud
adalah tablet Valium, karena secara oral, Valium hanya tersedia dalam
bentuk tablet, bukan bentuk lain seperti kapsul. Masalahnya di sini,
Qaris menyebutkan 500 gram. Bukan jumlah yang sedikit. 500 miligram saja
sudah tidak mungkin untuk dosis Valium -mengandung zat bernama
diazepam, sejenis hipnotik dan sedatif- karena ia tidak sama dengan
aspirin atau ampisilin. Tidak ada Valium dengan kandungan 500 miligram,
apalagi 500 gram per tablet. Coba bayangkan bentuk tablet dengan
diazepam seberat 500 gram (belum lagi berat zat tambahan yang digunakan
untuk membuat tablet).
Akibatnya
penyebab kematian Larasati menjadi mentah. Apalagi, kemudian disebutkan
jika 3 butir Valium yang tertelan berpengaruh pada Larasati, yang
mendadak, tanpa disinggung sebelumnya, mengidap kelemahan jantung. Jika
Qaris menggunakan Valium untuk mengatalisasi kematian Larasati,
setidaknya ia memiliki pengetahuan takaran Valium yang ada dan kuantitas
yang memiliki kontraindikasi terhadap kelemahan jantung, jika ada.
Kesalahan Qaris tentu saja mengganggu kelogisan cerita yang ia
sampaikan.
Dalam percakapan antara Lucia Wong dan Andi Djatmika, juga ditemukan kalimat-kalimat yang terkesan janggal. Misalnya,
jawaban Andi ketika Lucia menanyakan respons keluarga atas keputusannya
pergi ke Tunisia (hlm. 143). Lucia: "Bagaimana dengan keluargamu?"
Andi: "Ibu menyetujui rencanaku. Apalagi saat kuberitahu bahwa kepergianku ini untuk menemukan kembali diriku yang sempat hilang. Katanya,
'Ibu hanya bisa berdoa. Hanya satu pesan ibu, jangan pernah melupakan
orang yang pernah membantumu. Di rantau, mereka adalah keluargamu'. "Aku
mencium tangannya. Ia mengelus rambutku dan mencium ubun-ubunku. Ciuman
terakhir yang aku terima darinya hinggi kini. Ia tak menangisi
kepergianku, karena ia tahu, anaknya akan segera kembali dengan kabar
baik dari Tuhan." Mengharukan, tapi rasanya janggal Andi mengucapkan kalimat seperti ini pada saat interogasi. Tapi, tentu saja, ini cuma persepsi saya.
Secara
umum, terbitan Akoer sudah lebih baik dari terbitan sebelumnya, jika
melihat ukuran huruf yang dipakai. Tidak kecil-kecil, sehingga
melelahkan mata. Sayangnya, usaha ini tidak diimbangi dengan kualitas
cetak yang bagus. Selain pada beberapa halaman tulisannya mengabur,
masih terdapat sejumlah kesalahan cetak yang mengganggu. Dan
omong-omong, catatan kaki (footnote) letaknya di 'kaki' setiap halaman, bukan di akhir buku (endnote).
Agaknya,
satu kali penyuntingan perlu dilakukan lagi untuk menyiangi naskah,
supaya novel perdana Qaris Tajudin ini tampil lebih bersinar.
0 comments:
Post a Comment