Judul Buku: Out
Penulis : Natsuo Kirino
Penerjemah : Lulu Wijaya
Tebal: 576 hlm; 20 cm
Cetakan 1, April 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Pernikahannya dengan Kenji Yamamoto yang telah dikaruniai 2 orang anak laki-laki tidak membawa kebahagiaan bagi Yayoi. Setelah sekian lama, wanita cantik 34 tahun ini baru menyadari jika Kenji selamanya hanya hidup untuk mengejar ilusi. Ia bukan sekadar penjudi, pemabuk, dan suka main perempuan, ia juga tega memperlakukan istrinya sebagai sansak bagi bogem mentahnya.
Suatu
malam dirangsang kebencian yang begitu kuat, Yayoi kalap dan membetot
nyawa suaminya; sebuah pembunuhan yang tidak ia rencanakan sebelumnya.
Tapi ia tetap tidak merasa bersalah. Baginya kematian adalah harga
yang pantas untuk membayar kekejian Kenji.
Waktu seorang wanita melakukan pembunuhan tak terencana, masalahnya yang pertama adalah bagaimana mengenyahkan mayat
(hlm. 296). Untuk itu, Yayoi menghubungi Masako Katori yang memunyai
mobil guna membantu membuang mayat suaminya. Keduanya saling kenal
karena bekerja pada shift malam di tempat yang sama, yaitu Miyoshi
Foods, sebuah pabrik makanan kotak. Masako sendiri adalah wanita 43
tahun, tinggal dengan suami dan seorang anak lelaki dalam sebuah rumah
tempat komunikasi lisan telah menjadi barang langka.
Setelah
mayat Kenji dijebloskan ke dalam bagasi mobil Masako, mereka masuk
kerja seolah-olah tidak ada yang terjadi. Di tempat kerja, ketika
melihat Masako sedang menangani potongan daging untuk makanan kotak,
ide lahir di benak Yayoi (hlm.90).
Pada umumnya, (wanita) dia tidak cukup kuat untuk memindahkannya sendirian, jadi sering kali dia tak ada pilihan selain memotong-motongnya (hlm. 296)
Maka,
Masako setuju memotong-motong tubuh Kenji. Yayoi, sebagai pembunuh,
tidak mungkin ikut membelek suaminya. Masako mengajak Yoshie Azuma,
rekan kerja lain yang baru berutang padanya. Yoshie adalah janda
berusia hampir 60 tahun dengan 2 anak perempuan menjengkelkan. Suaminya
tidak mewariskan harta kekayaaan kecuali mertua penyakitan yang
sungguh rewel (belakangan, mertuanya mesti membayar harga
kerewelannya). Meski pada awalnya tidak mau terlibat dalam tindakan
mutilasi mayat Kenji, Yoshie mau melakukan demi uang.
Karena
sehari-hari menghabiskan banyak waktu di dapur, tidak diragukan lagi
kaum wanita lebih terbiasa berurusan dengan daging dan darah. Mereka
tahu cara menggunakan pisau, dan cara membuang sampah. Dan mungkin
karena mereka pernah melahirkan, mereka tampaknya merasakan kedekatan
khusus dengan segenap proses hidup dan mati, dan ini memberi mereka
keberanian untuk melakukan tindakan tersebut (hlm. 297).
Di tengah proses pencacahan mayat Kenji, Kuniko Jonouchi –satu-satunya yang belum pernah melahirkan dan paling tidak suka masak
di antara wanita ini, datang ke rumah Masako. Ia bermaksud meminjam
uang untuk membayar bunga pinjaman yang dipakai membiayai pola hidupnya
yang norak dan sengak. Kuniko, mengaku berusia 29 tahun, baru saja
ditinggalkan pasangan kumpul kebonya setelah menguras sisa simpanan
mereka. Karena butuh uang, Kuniko akhirnya terbelit kumparan tindakan
kriminal akut ini.
Akibat
kecerobohan dari salah satu di antara mereka, ke-4 wanita ini harus
berhadapan dengan pihak kepolisian. Mereka berhasil mengecundangi
polisi, tapi perbuatan mereka telah menghancurkan kehidupan dan bisnis
yang dibangun seorang lelaki di atas puing-puing masa lalunya yang
gelap. Kesumat tersulut, dan para konspirator dadakan ini tidak
mungkin melarikan diri dari hawa panas pembalasan dendam.
Mendadak, kebebasan yang sesaat telah teraih, terancam dirampas dari mereka.
Sesungguhnya
kehidupan 4 wanita kelas pekerja ini sebelum pembunuhan Kenji adalah
kehidupan berkubang keputusasaan. Tidak ada kebahagiaan. Tidak ada
kebebasan. Tidak ada kelegaan menarik napas sendiri. Mereka mengira,
pembunuhan dan upaya melenyapkan mayat Kenji akan memberikan mereka
kebebasan dari situasi yang memasung itu. Yayoi, dari kekerasan
domestik rumah tangganya; Masako, dari kehidupannya yang terkucil;
Yayoi dan Kuniko dari kerangkeng finansial. Tapi, peristiwa ini justru
membawa mereka masuk ke perangkap lain yang berpotensi menghancurkan
hidup mereka selamanya. Inilah sebetulnya esensi novel Out (Bebas): pencarian
kebebasan semu. Ketika mereka menganggap kebebasan telah tergenggam,
justru kebebasan itu terporot dengan sendirinya: ada seseorang yang
menuntut harga kebebasan mereka!
Melalui
novel yang menjadi karya perdananya yang diterbitkan dalam bahasa
Inggris ini, Natsuo Kirino membuktikan dirinya sebagai pengarang yang
piawai. Ia memang bisa dikatakan berhasil membangun reputasi sebagai
penulis kisah misteri dengan gaya berbeda dari genre kisah kriminal
lain. OUT tidak hadir sebagai kisah pencarian wajah pembunuh, tapi
pergumulan psikologis pasca pembunuhan yang dialami oleh semua yang
terlibat di dalamnya lengkap dengan teror dan horor yang tidak hanya
bersumber dari kehidupan internal, tapi juga dari ancaman kehidupan
eksternal.
Dalam Out (Bebas), kita bisa mengurai keprigelan yang dimiliki wanita pemilik nama asli Mariko Hashioka ini.
Pertama,
ia berhasil menciptakan konflik apik yang bertolak dari persiapan
yang baik; satu peristiwa akan melahirkan peristiwa berikut dalam
jalinan logis tanpa terkesan dipaksakan atau sekedar tempelan. Konflik
tersebut dipaparkan dengan cerdas dan menciptakan daya pikat untuk
terus mengikuti aliran kisah yang dibesutnya. Sulit untuk menebak sejak
awal bagaimana konflik itu dituntaskan. Hasilnya, novel usai dengan
pamungkas yang tidak terduga, mencekam, getir, tetap bersimbah darah,
tapi memuaskan. Sejak pembukaan, Kirino telah menyorongkan Masako
sebagai karakter paling penting dalam kisah ini. Dialah yang menjadi
jantung yang memompa peredaran konflik menuju akhir, tentu dengan tidak
mengabaikan peranan Kuniko. Tapi, tetap sukar meraba apa yang akan
menimpanya ketika harus berhadapan dengan nemesisnya, Mitsuyoshi
Satake, yang memiliki kekuatan yang dingin dan kejam hampir setara
dengan dirinya. Adegan pertemuan di antara mereka di penghujung novel
menjadi bagian paling menggetarkan dan bertegangan tinggi dalam novel
ini.
Kedua,
seperti jalinan kisahnya, Kirino menghadirkan karakter novel dengan
perencanaan yang matang. Coba simak bagaimana akurasi Kirino membangun
perwatakan karakter utama yakni Masako, Yayoi, Yoshie, Kuniko, dan
Satake. Mereka digambarkan sangat kuat dan padu sehingga pembaca akan
terdorong untuk merogoh ke dalam jiwa mereka, memahami pergumulan jiwa
mereka dan pada gilirannya menjadi bingung menentukan siapa
sesungguhnya yang harus dipihaki. Kirino juga menyusupkan karakter
pendukung dalam plot dan sukses memanfaatkan mereka untuk memperkuat
karakterisasi tokoh utama sekaligus mempertajam plot yang telah
dirancang. Perhatikan kehadiran Anna atau Kazuo Miyamori. Keberadaan 2
karakter ini membuat pembaca semakin memahami kejiwaan duo karakter
penting novel, Masako dan Satake. Sedangkan kehadiran Jumonji, tidak
saja meramaikan plot, tapi membuat plotnya bertambah runcing.
Ketiga,
Kirino mengikat konflik dan karakter yang ada dalam plot yang lancar,
setiap insiden berkelindan padu memberi makna terhadap keseluruhan
kisah. Ia memang menggunakan perspektif orang ketiga dengan filter dari
satu karakter tertentu, sehingga kerap menceritakan satu kejadian
secara berulang dengan berpindah sudut pandang. Hal ini seolah memberi
kesan perguliran plot yang lambat, tapi sebenarnya sangat bisa
dinikmati dan bahkan memberi deskripsi situasi yang tegas yang
menyempurnakan pemahaman pembaca.
Yang
paling menghebohkan dari novel ini mungkin ide mutilasi mayat yang
digambarkan secara eksplisit (meski dalam novel dikatakan bukan
tindakan perdana dalam catatan kepolisian Jepang), dan dilakukan oleh
wanita biasa. Bagamanapun, adegan mutilasi sedikit banyak akan
memberikan imaji yang mengirikkan bulu roma. Apalagi ketika aktivitas
mutilasi ini berkembang menjadi bisnis yang gampang dan menguntungkan;
sungguh dingin dan mengerikan (dan menjijikkan). Sekalipun Kirino
memberikan alasan yang adekuat untuk mewajarkan tindakan sinting ini.
Penulis Jepang ini tak
tanggung-tanggung menyodorkan lanskap kelam buat penikmat novelnya,
semua merebak di sekujur novel. Sejak awal nuansa muram dan mencekam
telah menggayut dan terus berlanjut hingga mencapai akhir. Bahkan
penampilan Kuniko yang norak dan menggelikan tidak berdaya mencerahkan
ceritanya sedikit pun. Tapi anehnya, begitu mulai dibaca, apalagi
dengan cara pengungkapan yang memukau, sulit untuk melepaskan diri dari
sihirnya yang mengikat. Dan pembaca akan terus didorong memangkas
habis dan tuntas setiap kalimat yang tercetak. Natsuo Kirino memang tak
diragukan lagi. Karya-karyanya telah memenangkan berbagai penghargaan
di negara asalnya. Ia telah menggondol Edogawa Ranpo Award (Rain Falling on My Face,1993), Naoki Award (Soft Cheeks,1998), Izumi Kyoka Literary Award (Grotesque, 2003), Shibata Renzaburo Award (Zangyakuki, 2004), dan Fujinkoron Literary Award (Tamamoe!, 2005).
OUT sendiri telah memberikannya Mystery Writers of Japan Award tahun
1998; diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stephen Snyder tahun
2003; masuk nominasi Novel Terbaik Edgar Allen Poe Award tahun 2004.
Ia adalah penulis Jepang pertama yang menjadi nomine peraih Edgar Allan
Poe Award. Out telah difilmkan oleh sutradara Hideyuki Hirayama
dengan pemain seperti Mieko Harada, Shigeru Muroi, Naomi Nishida, dan
Teruyuki Kagawa; dan beredar tahun 2002.
Out (film) |
0 comments:
Post a Comment