Judul Buku: Blind Eye
Penulis: James B. Stewart
Penerjemah: Elka Ferani
Tebal : 552 hlm; 14 X 21 cm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Dastan Books
Penulis: James B. Stewart
Penerjemah: Elka Ferani
Tebal : 552 hlm; 14 X 21 cm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Dastan Books
27 Juni 1997, seorang petugas imigrasi O'Hare International Airport di Chicago mengambil paspor Amerika milik seorang laki-laki yang tiba dari Johannesburg lewat London. Laki-laki itu sedang dalam perjalanan menuju Portland, Oregon, dan kemudian, pada hari yang sama, akan menuju Dhahran, Saudi Arabia. Selanjutnya, pemilik paspor tersebut, seorang (dokter) bernama Michael Swango, ditahan atas tuduhan penipuan. Keesokan harinya ia dipindahkan oleh polisi federal ke Metropolitan Detention Center di Brooklyn, New York. Dalam persidangan yang dilaksanakan kemudian, ia mengaku bersalah atas tuduhan penipuan yang telah ia lakukan, yaitu menggunakan pernyataan-pernyataan palsu agar bisa diterima di residensi kedokteran State University of New York. Ia dijatuhi hukuman 42 bulan penjara, dengan tuduhan yang tergolong kecil jika dibandingkan dengan apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Karena Swango, telah melakukan serangkaian tindakan kriminal yang membuat banyak orang kehilangan nyawa.
Dennis
Cashman, di Quincy, Illinois, hakim yang memutuskan Swango bersalah
atas tuduhan meracuni rekan-rekan sekerjanya 11 tahun sebelumnya,
mendengar tentang penangkapan Swango. Ia kaget dan heran mengetahui
Swango muncul lagi dalam perjalanan mendapatkan pekerjaan baru sebagai
dokter. Ia menghubungi James B. Stewart
dan mengungkapkan bahwa sesungguhnya sebelumnya, Swango telah membunuh
sekitar 60 orang. Jumlah ini akan menabalkan dirinya sebagai pembunuh
berantai paling sukses dalam sejarah Amerika. Ada sesuatu yang mengusik
dalam perjalanan kriminal Swango, yaitu perilaku para anggota profesi
kedokteran. Sejarah pekerjaan Swango menunjukkan bahwa para dokter dan
administrator rumah sakit telah memercayakan pasien kepada orang yang
mereka tahu tidak lebih dari seorang penjahat. Profesi kedokteran tampak
buta terhadap kemungkinan anggotanya ini bisa menjadi seorang pembunuh
berantai. Sistem yang ada telah memberi peluang bagi sang pencabut nyawa
untuk berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.
Seorang
dokter; seorang yang sebelum menjalankan profesi medisnya telah
mengucapkan sumpah Hippocrates, seorang yang mestinya menolong orang
lain, malah membunuh dan menikmati aksi pembunuhannya. Ada apa
sebenarnya? Mengapa hal ini bisa terjadi? Atau apakah sebenarnya Swango
adalah korban kejadian-kejadian aneh dan kegagalan keadilan? Hal inilah
yang membuat James B. Stewart, yang juga berasal dari daerah yang sama
dengan Swango -Quincy, Illinois, tergerak untuk melakukan investigasi
seputar kehidupan Swango, terutama tindakan-tindakan kriminal yang telah
ia lakukan di balik profesinya sebagai seorang dokter.

Usaha
Stewart mencari jawaban ihwal kehidupan Swango memakan waktu hampir 2
tahun dan telah membawanya meretas jalan: Quincy, Ohio, Virginia, South
Dakota, Long Island, hingga akhirnya Afrika. Ia menjejak tempat yang
pernah Swango datangi, bekerja dan melaksanakan aksi kejinya: membunuh
pasien dan meracuni kolega, orang terdekat dengannya, dan orang yang
menerimanya tanpa mengenal setan di balik sosoknya. Wawancara dan
penelusuran berbagai dokumentasi publik maupun dokumentasi pribadi
orang-orang yang pernah terhubung dengan kehidupan Swango meyakinkan
Stewart siapa sesungguhnya Swango. Ia merasakan kengerian total dalam
hati: Swango telah menyalahgunakan kepercayaan dan harapan orang-orang
yang sakit dan tak berdaya.
Tidak
hanya melakukan investigasi untuk merangkai kembali perjalanan kriminal
Swango, Stewart juga menghubungi Dr. Jeffrey Smalldon, seorang psikolog
klinis dan forensik dengan spesialisasi psikopatologi-pembunuh
berantai, untuk mendaras kepribadian sang pembunuh berantai.
Seluruh hasil investigasi dan kajian profesional mengenai Swango kemudian dirangkum dalam buku menggetarkan berjudul Blind Eye ini.
Buku ini menjadi upaya merekam perjalanan kehidupan Swango, situasi
dunia kedokteran yang berpotensi membuat Swango bebas berkiprah, dan
faktor yang mungkin menjadi pencetus perilakunya sebagai pembunuh
berantai. Swango sendiri tidak mau melayani permintaan wawancara dari
Stewart sehingga penulis tidak mendapatkan perspektif Swango terhadap
apa yang telah ia lakukan. Tapi mengingat dalam sejarah hidupnya, Swango
dikenal sebagai seorang pembohong yang arogan, sangat mungkin jika
Swango bersedia, Stewart akan mendapatkan cerita bohong versi Swango.
Blind Eye dibuka dengan sebuah adegan prolog bagaikan teaser
sebuah film, layaknya novel biasa. Suatu sore di bulan Mei 1995, Swango
yang saat itu menjadi dokter di sebuah sakit di Bulawayo, Zimbabwe,
menyuntik Keneas Mzezewa, seorang pasien yang kakinya baru diamputasi.
Ketika seorang perawat menanyakan perihal penyuntikan yang ia lakukan,
dengan gaya bingung, ia menyangkalnya.
Cerita
kemudian bergulir mundur, menuju Illinois, menguak kehidupan masa lalu
Swango. Ia lahir dari sebuah keluarga tidak harmonis, hasil asimilasi
seorang lelaki produk kekerasaan perang Vietnam (yang gemar mengoleksi
artikel-artikel dan foto-foto tabrakan mobil, bencana serta
insiden-insiden kematian yang mengerikan) dan seorang perempuan yang
kemudian melambungkan karakter superioritasnya. Ia tumbuh sebagai siswa
berprestasi yang memiliki minat tidak biasa terhadap Holocaust di sebuah
sekolah menengah atas terkemuka, kemudian berkembang menjadi laki-laki
muda yang terobsesi pada kebugaran tubuh, yang mendadak tertarik pada
dunia kedokteran.

Selepas
fakultas kedokteran, Swango masuk program residensi Ohio State
University. Serangkaian kematian akibat keracunan yang kemudian terjadi
berakibat dicabutnya lisensi Swango untuk berpraktik sebagai dokter.
Pada saat itu ia juga meracuni rekan-rekannya di korps ambulans. Dengan
keras Swango membela diri bahwa ia tidak melakukan semua itu dan
menyatakan bahwa ia, "menolak tindak kriminal atau kejahatan apa pun di bawah Sumpah Hippocrates dalam bekerja di Ohio atau bekerja di mana pun" (hlm. 241). Apa pun yang ia katakan, ia tetap digiring ke dalam penjara.
Keluar
dari penjara, Swango berusaha melanjutkan pekerjaan sebagai dokter,
bahkan sampai mengubah namanya. 18 Maret 1991, ia diterima dalam program
residensi bagian penyakit dalam di University of South Dakota. Meski
sudah mencoba menabiri masa lalunya, ia dikeluarkan begitu wajah aslinya
tersingkap. Memanfaatkan kelemahan sistem kedokteran, ia melamar di
program residensi penyakit jiwa di State Univesity of New York di Stoony
Brook, Long Island. Di sana, lagi-lagi, ia memenuhi hasrat kriminalnya.
Direktur program, Dr. Alan Miller, mengatakan padanya, " Saya ragu Anda bisa berpraktik sebagai dokter" (hlm. 347). Tapi anehnya kemudian memberi ide bagi Swango, "Satu-satunya
cara adalah Anda pergi ke suatu tempat yang benar-benar membutuhkan
seorang dokter, suatu tempat yang sangat memprihatinkan " (hlm. 348).
Ketika
akhirnya nama Swango dikukuhkan sebagai buronan untuk tindakan penipuan
(bukan pembunuhan), Swango telah lenyap. November 1994, ia telah berada
di Zimbabwe. Di Zimbabwe, jiwa kriminalnya tak kuncup juga. Serangkaian
kematian tercipta yang dikalanginya dengan penipuan dan kebohongan. Ia
meninggalkan Zimbabwe secara diam-diam, dan berbulan-bulan kemudian
muncul di Chicago, dalam perjalanan menuju tempat kerja baru di Saudi
Arabia. Sesungguhnya ia tidak berniat kembali ke Amerika, tapi jalan ke
Saudi Arabia ternyata mengharuskan ia terlebih dahulu menjejak
negaranya. Kali ini langkahnya terjegal, takdirnya mungkin telah
ditentukan.
Menurut Smalldon (hlm. 467), satu penjelasan saja pada akhirnya tidak akan memadai untuk menjelaskan kasus Swango. "Antisosial, narsisistik –masih ada sejumlah besar varian yang tak dijelaskan dan pertanyaan-pertanyaan besar yang tak terjawab".
Tapi dalam banyak hal, Swango agaknya merupakan kasus psikopat dengan
kecenderungan-kecenderungan narsistik ekstrem. Smalldon mencoba
memberikan penjelasan atas kasus Swango yang lalu diuraikan pada bab 13
untuk mencoba memahami kepribadian Swango sebagai pembunuh berantai.
Sebuah kajian menarik mengenai pembunuh berantai dengan kepribadian
superior dan rasa kemuliaan diri tinggi. Kepribadian itu mengejawantah
dalam bentuk tindakan keji dengan cara memperdaya orang lain sembari
menikmati sensasi membunuh dan penyangkalan yang dilakukan dengan
kemahiran memperlihatkan emosi palsu.
Pada saat buku ini ditulis, Swango dipenjarakan untuk dakwaan penipuan, sehingga dengan prihatin Stewart menyatakan, "Jika
Swango memang bertanggung jawab atas begitu banyak kematian, maka,
mengingat bukti mental psikopatnya, hampir dapat dipastikan pembunuhan
dan usaha pembunuhan dengan racun dengan pola semacam itu akan
merajalela lagi jika dia dibebaskan dari penjara" (hlm. 496). Swango
memang hanya akan ditahan selama 42 bulan, sesuai dakwaan yang
ditimpakan padanya, kemudian mendapat pembebasan bersyarat. Selama 3
tahun setelah dibebaskan Swango akan berada di bawah pengawasan. Selama
itu ada kemungkinan Swango menerima konseling psikiatris jika ia
menginginkan; yang sesungguhnya tidak menjadi jaminan, mengingat
pengobatan efektif untuk psikopat berat tidak diketahui. Untunglah,
belakangan Swango terjerat dakwaan pembunuhan dan ia tidak mendapatkan
pembebasan bersyarat.
Sulit
memang untuk memastikan pemicu hasrat kriminal dalam diri Swango meski
sudah berusaha diuraikan. Rena Cooper, wanita yang selamat dari tindakan
percobaan pembunuhan yang dilakukan Swango di Ohio State Hospitals pada
tahun 1984 menulis surat pada hakim di atas kertas surat warna
lembayung muda dengan bunga-bunga kecil dan lebah. Antara lain
dikatakannya, "Saya tidak tahu bahwa hidup begitu murah di mata
beberapa orang. .....tak pula saya memendam rasa benci kepada Swango
muda. Saya benar-benar merasa bahwa dia meminta tolong, tapi sepertinya
tak seorang pun mendengar dia menjerit. Saya harap sebelum melangkah
terlalu jauh, Swango muda akan mendapat pertolongan yang diminta dan
dibutuhkannya" (hlm. 508).
Sebuah
harapan yang mulia dari seorang korban. Tapi mengingat kepribadian
Swango yang sombong dan merasa benar sendiri, sulit bagi orang lain
untuk mengetahui pertolongan apa yang ia butuhkan dan bagaimana
pertolongan itu akan bisa diberikan kepadanya.
Karya
investigasi menarik ini telah memenangkan Edgar Allan Poe Award tahun
2000. Memang, kita mesti bersetuju bahwa upaya James B. Stewart untuk
menghadirkan kisah kehidupan Swango tergolong luar biasa, sehingga layak
ia mendapatkan penghargaan. Membaca kisah Swango pembaca mungkin akan
mendapatkan kesan menakutkan dengan semua yang telah ia lakukan. Swango
jelas merefleksikan kepribadian pembunuh berantai yang senang membunuh
tanpa perasaan bersalah kemudian menikmati apa yang ia lakukan sebagai
bagian paling memesona dari kehidupannya. Tapi dengan segera
juga pembaca akan bertanya-tanya apakah selama ini semua orang dalam
lingkup profesi medis telah menjalankan tugas sebagaimana seharusnya:
sesuai sumpah, sesuai standar dan hukum yang berlaku, dan tetap di bawah
kontrol. Tidak tertutup kemungkinan di Indonesia ada juga dokter yang
memiliki kepribadian seperti Swango yang bersembunyi aman di cangkang
profesinya. Apalagi mengingat kesempatan ada, dan tidak sulit
mendapatkan alat suntik, obat yang berubah fungsi menjadi racun, atau
bahkan racun.
James
B. Stewart berhasil melongok ke balik tirai dunia kedokteran (Amerika)
yang kerap tertutup rapat dan sukses memaparkan hasilnya. Membaca
bukunya ini, terkesan adanya upaya bukan hanya untuk mengelupas lapisan
bawang kehidupan Swango, tapi juga siung dunia kedokteran di mana Swango
berkiprah. Sebuah upaya yang sangat manusiawi mempertimbangkan manusia
yang dilayani para dokter (pasien) adalah yang paling berhak atas
kehidupannya. Mereka berhak tahu apa yang dilakukan terhadap diri
mereka. Mereka berhak atas jaminan bahwa mereka mendapatkan tindakan
yang tepat untuk memperoleh pemulihan, dan bukan kematian. Tidak ada
orang yang menginginkan dirinya menjadi korban malapraktik, oleh
kesalahan penanganan atau terapi yang tidak sesuai, atau lebih
menakutkan, oleh kesengajaan untuk mengeskpresikan naluri kriminal.
Seperti
yang tergambar dalam kisah Swango, sistem kedokteran yang ada ikut
memberi andil bagi terlaksananya rangkaian kejahatan dokter psikopat
ini, membentuk cangkang yang melindungi orang yang semestinya bersalah.
Inilah sebuah jenis kebutaan, kebutaan sistem, yang secara eksplisit
menyatakan peremehan terhadap hak hidup orang lain.
Dalam
hal penulisan, selain memaparkan hasil investigasi layaknya seorang
jurnalis, terkadang juga Stewart memanfaatkan gaya tutur novel untuk
membuat pengungkapannya lebih mengalir. Tentu saja, karena kisah ini
bukan fiksional dan ditulis dengan tujuan yang sangat jelas, kita tidak
akan menemukan dramatisasi berlebih layaknya sajian fiksi.
Edisi
Indonesia yang diterbitkan Dastan Books ini cukup enak dibaca,
terjemahannya mudah diikuti dan disertai penjelasan secukupnya untuk
istilah-istilah tertentu. Selain itu, seperti produk Dastan Books yang
lain, buku ini menggunakan huruf dengan ukuran yang tidak melelahkan
mata sehingga bisa dinikmati dengan nyaman.
Tak
pelak, inilah buku yang bisa dijadikan pilihan bagi penyuka kisah-kisah
kriminal yang tidak sekadar menghendaki bentangan aksi kriminal, tapi
juga pemahaman lebih dalam akan situasi yang mengatalisasi tindak
kriminal tersebut dan efek yang kemudian ditimbulkannya.
1 comments:
Permisi Min, info ini mungkin dapat bermanfaat buat pencari Novel Blind Eye, novel ini dijual di www.aksiku.com, ini linknya: http://www.aksiku.com/2015/08/jual-novel-blind-eye-dokter-pencabut.html
Terima kasih, Salam
Post a Comment