11 February 2012

Blind Eye


Judul Buku: Blind Eye 
Penulis: James B. Stewart
Penerjemah: Elka Ferani 
Tebal : 552 hlm; 14 X 21 cm 
Cetakan: 1, Mei 2007 
Penerbit: Dastan Books




27 Juni 1997, seorang petugas imigrasi O'Hare International Airport di Chicago mengambil paspor Amerika milik seorang laki-laki yang tiba dari Johannesburg lewat London. Laki-laki itu sedang dalam perjalanan menuju Portland, Oregon, dan kemudian, pada hari yang sama, akan menuju Dhahran, Saudi Arabia. Selanjutnya, pemilik paspor tersebut, seorang (dokter) bernama Michael Swango, ditahan atas tuduhan penipuan. Keesokan harinya ia dipindahkan oleh polisi federal ke Metropolitan Detention Center di Brooklyn, New York. Dalam persidangan yang dilaksanakan kemudian, ia mengaku bersalah atas tuduhan penipuan yang telah ia lakukan, yaitu menggunakan pernyataan-pernyataan palsu agar bisa diterima di residensi kedokteran State University of New York. Ia dijatuhi hukuman 42 bulan penjara, dengan tuduhan yang tergolong kecil jika dibandingkan dengan apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Karena Swango, telah melakukan serangkaian tindakan kriminal yang membuat banyak orang kehilangan nyawa.

Dennis Cashman, di Quincy, Illinois, hakim yang memutuskan Swango bersalah atas tuduhan meracuni rekan-rekan sekerjanya 11 tahun sebelumnya, mendengar tentang penangkapan Swango. Ia kaget dan heran mengetahui Swango muncul lagi dalam perjalanan mendapatkan pekerjaan baru sebagai dokter. Ia menghubungi James B. Stewart dan mengungkapkan bahwa sesungguhnya sebelumnya, Swango telah membunuh sekitar 60 orang. Jumlah ini akan menabalkan dirinya sebagai pembunuh berantai paling sukses dalam sejarah Amerika. Ada sesuatu yang mengusik dalam perjalanan kriminal Swango, yaitu perilaku para anggota profesi kedokteran. Sejarah pekerjaan Swango menunjukkan bahwa para dokter dan administrator rumah sakit telah memercayakan pasien kepada orang yang mereka tahu tidak lebih dari seorang penjahat. Profesi kedokteran tampak buta terhadap kemungkinan anggotanya ini bisa menjadi seorang pembunuh berantai. Sistem yang ada telah memberi peluang bagi sang pencabut nyawa untuk berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. 

Seorang dokter; seorang yang sebelum menjalankan profesi medisnya telah mengucapkan sumpah Hippocrates, seorang yang mestinya menolong orang lain, malah membunuh dan menikmati aksi pembunuhannya. Ada apa sebenarnya? Mengapa hal ini bisa terjadi? Atau apakah sebenarnya Swango adalah korban kejadian-kejadian aneh dan kegagalan keadilan? Hal inilah yang membuat James B. Stewart, yang juga berasal dari daerah yang sama dengan Swango -Quincy, Illinois, tergerak untuk melakukan investigasi seputar kehidupan Swango, terutama tindakan-tindakan kriminal yang telah ia lakukan di balik profesinya sebagai seorang dokter. 

James B. Stewart, adalah seorang ahli hukum, jurnalis, dan penulis buku-buku seperti Den of Thieves, Blood Sport, dan Follow the Story: How to Write Successful Nonfiction. Selain mengajar di  Columbia University, lulusan Harvard Law School dan  DePauw University ini dikenal juga sebagai penulis Common Sense, sebuah kolom di SmartMoney dan SmartMoney.com yang juga tampil di Wall Street Journal. Ia menerima Pulitzer Prize tahun 1988 untuk artikelnya di Wall Street Journal ihwal ambruknya pasar saham dan skandal insider trading tahun 1987. Belakangan ia menulis buku-buku seperti Heart of a Soldier: A Story of Love, Heroism and September 11 (buku nonfiksi terbaik 2002 majalah Time) dan DisneyWar: The Battle for the Magic Kingdom yang telah memenangkan Loeb Award 2006 sebagai buku terbaik.

Usaha Stewart mencari jawaban ihwal kehidupan Swango memakan waktu hampir 2 tahun dan telah membawanya meretas jalan: Quincy, Ohio, Virginia, South Dakota, Long Island, hingga akhirnya Afrika. Ia menjejak tempat yang pernah Swango datangi, bekerja dan melaksanakan aksi kejinya: membunuh pasien dan meracuni kolega, orang terdekat dengannya, dan orang yang menerimanya tanpa mengenal setan di balik sosoknya. Wawancara dan penelusuran berbagai dokumentasi publik maupun dokumentasi pribadi orang-orang yang pernah terhubung dengan kehidupan Swango meyakinkan Stewart siapa sesungguhnya Swango. Ia merasakan kengerian total dalam hati: Swango telah menyalahgunakan kepercayaan dan harapan orang-orang yang sakit dan tak berdaya.

Tidak hanya melakukan investigasi untuk merangkai kembali perjalanan kriminal Swango, Stewart juga menghubungi Dr. Jeffrey Smalldon, seorang psikolog klinis dan forensik dengan spesialisasi psikopatologi-pembunuh berantai, untuk mendaras kepribadian sang pembunuh berantai.

Seluruh hasil investigasi dan kajian profesional mengenai Swango kemudian dirangkum dalam buku menggetarkan berjudul Blind Eye ini. Buku ini menjadi upaya merekam perjalanan kehidupan Swango, situasi dunia kedokteran yang berpotensi membuat Swango bebas berkiprah, dan faktor yang mungkin menjadi pencetus perilakunya sebagai pembunuh berantai. Swango sendiri tidak mau melayani permintaan wawancara dari Stewart sehingga penulis tidak mendapatkan perspektif Swango terhadap apa yang telah ia lakukan. Tapi mengingat dalam sejarah hidupnya, Swango dikenal sebagai seorang pembohong yang arogan, sangat mungkin jika Swango bersedia, Stewart akan mendapatkan cerita bohong versi Swango.

Blind Eye dibuka dengan sebuah adegan prolog bagaikan teaser sebuah film, layaknya novel biasa. Suatu sore di bulan Mei 1995, Swango yang saat itu menjadi dokter di sebuah sakit di Bulawayo, Zimbabwe, menyuntik Keneas Mzezewa, seorang pasien yang kakinya baru diamputasi. Ketika seorang perawat menanyakan perihal penyuntikan yang ia lakukan, dengan gaya bingung, ia menyangkalnya.

Cerita kemudian bergulir mundur, menuju Illinois, menguak kehidupan masa lalu Swango. Ia lahir dari sebuah keluarga tidak harmonis, hasil asimilasi seorang lelaki produk kekerasaan perang Vietnam (yang gemar mengoleksi artikel-artikel dan foto-foto tabrakan mobil, bencana serta insiden-insiden kematian yang mengerikan) dan seorang perempuan yang kemudian melambungkan karakter superioritasnya. Ia tumbuh sebagai siswa berprestasi yang memiliki minat tidak biasa terhadap Holocaust di sebuah sekolah menengah atas terkemuka, kemudian berkembang menjadi laki-laki muda yang terobsesi pada kebugaran tubuh, yang mendadak tertarik pada dunia kedokteran. 

Selanjutnya, Swango mendaftar kuliah pra-kedokteran di Quincy College, saat mana ia mulai menunjukkan ketertarikannya akan racun. Ia berhasil masuk kehidupan kampus kedokteran Southern Illinois University (SIU) di Carbondale dan mengukuhkan diri sebagai mahasiswa berkepribadian aneh yang sangat gandrung pasien-pasien kasus terparah. Selama tugasnya pada tahun ketiga di SIU, beberapa pasien yang semula tampak sembuh dengan memuaskan, mati setelah ia melaksanakan tugas. Hal ini memunculkan kelakar di kalangan mahasiswa, dan akhirnya memberi nama baru baginya: Double-O Swango yang berarti License to Kill (Lisensi Untuk Membunuh). Rupanya, sejak saat itu, kematian pasien menjadi obsesinya. Dengan kegemarannya akan maut, ia juga menjadi anggota korps ambulans yang tidak jauh dari kecelakaan dan kematian. 

Selepas fakultas kedokteran, Swango masuk program residensi Ohio State University. Serangkaian kematian akibat keracunan yang kemudian terjadi berakibat dicabutnya lisensi Swango untuk berpraktik sebagai dokter. Pada saat itu ia juga meracuni rekan-rekannya di korps ambulans. Dengan keras Swango membela diri bahwa ia tidak melakukan semua itu dan menyatakan bahwa ia, "menolak tindak kriminal atau kejahatan apa pun di bawah Sumpah Hippocrates dalam bekerja di Ohio atau bekerja di mana pun" (hlm. 241). Apa pun yang ia katakan, ia tetap digiring ke dalam penjara.

Keluar dari penjara, Swango berusaha melanjutkan pekerjaan sebagai dokter, bahkan sampai mengubah namanya. 18 Maret 1991, ia diterima dalam program residensi bagian penyakit dalam di University of South Dakota. Meski sudah mencoba menabiri masa lalunya, ia dikeluarkan begitu wajah aslinya tersingkap. Memanfaatkan kelemahan sistem kedokteran, ia melamar di program residensi penyakit jiwa di State Univesity of New York di Stoony Brook, Long Island. Di sana, lagi-lagi, ia memenuhi hasrat kriminalnya. Direktur program, Dr. Alan Miller, mengatakan padanya, " Saya ragu Anda bisa berpraktik sebagai dokter" (hlm. 347). Tapi anehnya kemudian memberi ide bagi Swango, "Satu-satunya cara adalah Anda pergi ke suatu tempat yang benar-benar membutuhkan seorang dokter, suatu tempat yang sangat memprihatinkan " (hlm. 348).

Ketika akhirnya nama Swango dikukuhkan sebagai buronan untuk tindakan penipuan (bukan pembunuhan), Swango telah lenyap. November 1994, ia telah berada di Zimbabwe. Di Zimbabwe, jiwa kriminalnya tak kuncup juga. Serangkaian kematian tercipta yang dikalanginya dengan penipuan dan kebohongan. Ia meninggalkan Zimbabwe secara diam-diam, dan berbulan-bulan kemudian muncul di Chicago, dalam perjalanan menuju tempat kerja baru di Saudi Arabia. Sesungguhnya ia tidak berniat kembali ke Amerika, tapi jalan ke Saudi Arabia ternyata mengharuskan ia terlebih dahulu menjejak negaranya. Kali ini langkahnya terjegal, takdirnya mungkin telah ditentukan. 

Menurut Smalldon (hlm. 467), satu penjelasan saja pada akhirnya tidak akan memadai untuk menjelaskan kasus Swango. "Antisosial, narsisistik –masih ada sejumlah besar varian yang tak dijelaskan dan pertanyaan-pertanyaan besar yang tak terjawab". Tapi dalam banyak hal, Swango agaknya merupakan kasus psikopat dengan kecenderungan-kecenderungan narsistik ekstrem. Smalldon mencoba memberikan penjelasan atas kasus Swango yang lalu diuraikan pada bab 13 untuk mencoba memahami kepribadian Swango sebagai pembunuh berantai. Sebuah kajian menarik mengenai pembunuh berantai dengan kepribadian superior dan rasa kemuliaan diri tinggi. Kepribadian itu mengejawantah dalam bentuk tindakan keji dengan cara memperdaya orang lain sembari menikmati sensasi membunuh dan penyangkalan yang dilakukan dengan kemahiran memperlihatkan emosi palsu. 

Pada saat buku ini ditulis, Swango dipenjarakan untuk dakwaan penipuan, sehingga dengan prihatin Stewart menyatakan, "Jika Swango memang bertanggung jawab atas begitu banyak kematian, maka, mengingat bukti mental psikopatnya, hampir dapat dipastikan pembunuhan dan usaha pembunuhan dengan racun dengan pola semacam itu akan merajalela lagi jika dia dibebaskan dari penjara" (hlm. 496). Swango memang hanya akan ditahan selama 42 bulan, sesuai dakwaan yang ditimpakan padanya, kemudian mendapat pembebasan bersyarat. Selama 3 tahun setelah dibebaskan Swango akan berada di bawah pengawasan. Selama itu ada kemungkinan Swango menerima konseling psikiatris jika ia menginginkan; yang sesungguhnya tidak menjadi jaminan, mengingat pengobatan efektif untuk psikopat berat tidak diketahui. Untunglah, belakangan Swango terjerat dakwaan pembunuhan dan ia tidak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Sulit memang untuk memastikan pemicu hasrat kriminal dalam diri Swango meski sudah berusaha diuraikan. Rena Cooper, wanita yang selamat dari tindakan percobaan pembunuhan yang dilakukan Swango di Ohio State Hospitals pada tahun 1984 menulis surat pada hakim di atas kertas surat warna lembayung muda dengan bunga-bunga kecil dan lebah. Antara lain dikatakannya, "Saya tidak tahu bahwa hidup begitu murah di mata beberapa orang. .....tak pula saya memendam rasa benci kepada Swango muda. Saya benar-benar merasa bahwa dia meminta tolong, tapi sepertinya tak seorang pun mendengar dia menjerit. Saya harap sebelum melangkah terlalu jauh, Swango muda akan mendapat pertolongan yang diminta dan dibutuhkannya" (hlm. 508).

Sebuah harapan yang mulia dari seorang korban. Tapi mengingat kepribadian Swango yang sombong dan merasa benar sendiri, sulit bagi orang lain untuk mengetahui pertolongan apa yang ia butuhkan dan bagaimana pertolongan itu akan bisa diberikan kepadanya.

Karya investigasi menarik ini telah memenangkan Edgar Allan Poe Award tahun 2000. Memang, kita mesti bersetuju bahwa upaya James B. Stewart untuk menghadirkan kisah kehidupan Swango tergolong luar biasa, sehingga layak ia mendapatkan penghargaan. Membaca kisah Swango pembaca mungkin akan mendapatkan kesan menakutkan dengan semua yang telah ia lakukan. Swango jelas merefleksikan kepribadian pembunuh berantai yang senang membunuh tanpa perasaan bersalah kemudian menikmati apa yang ia lakukan sebagai bagian paling memesona dari kehidupannya. Tapi dengan segera juga pembaca akan bertanya-tanya apakah selama ini semua orang dalam lingkup profesi medis telah menjalankan tugas sebagaimana seharusnya: sesuai sumpah, sesuai standar dan hukum yang berlaku, dan tetap di bawah kontrol. Tidak tertutup kemungkinan di Indonesia ada juga dokter yang memiliki kepribadian seperti Swango yang bersembunyi aman di cangkang profesinya. Apalagi mengingat kesempatan ada, dan tidak sulit mendapatkan alat suntik, obat yang berubah fungsi menjadi racun, atau bahkan racun.

James B. Stewart berhasil melongok ke balik tirai dunia kedokteran (Amerika) yang kerap tertutup rapat dan sukses memaparkan hasilnya. Membaca bukunya ini, terkesan adanya upaya bukan hanya untuk mengelupas lapisan bawang kehidupan Swango, tapi juga siung dunia kedokteran di mana Swango berkiprah. Sebuah upaya yang sangat manusiawi mempertimbangkan manusia yang dilayani para dokter (pasien) adalah yang paling berhak atas kehidupannya. Mereka berhak tahu apa yang dilakukan terhadap diri mereka. Mereka berhak atas jaminan bahwa mereka mendapatkan tindakan yang tepat untuk memperoleh pemulihan, dan bukan kematian. Tidak ada orang yang menginginkan dirinya menjadi korban malapraktik, oleh kesalahan penanganan atau terapi yang tidak sesuai, atau lebih menakutkan, oleh kesengajaan untuk mengeskpresikan naluri kriminal.

Seperti yang tergambar dalam kisah Swango, sistem kedokteran yang ada ikut memberi andil bagi terlaksananya rangkaian kejahatan dokter psikopat ini, membentuk cangkang yang melindungi orang yang semestinya bersalah. Inilah sebuah jenis kebutaan, kebutaan sistem, yang secara eksplisit menyatakan peremehan terhadap hak hidup orang lain.

Dalam hal penulisan, selain memaparkan hasil investigasi layaknya seorang jurnalis, terkadang juga Stewart memanfaatkan gaya tutur novel untuk membuat pengungkapannya lebih mengalir. Tentu saja, karena kisah ini bukan fiksional dan ditulis dengan tujuan yang sangat jelas, kita tidak akan menemukan dramatisasi berlebih layaknya sajian fiksi. 

Edisi Indonesia yang diterbitkan Dastan Books ini cukup enak dibaca, terjemahannya mudah diikuti dan disertai penjelasan secukupnya untuk istilah-istilah tertentu. Selain itu, seperti produk Dastan Books yang lain, buku ini menggunakan huruf dengan ukuran yang tidak melelahkan mata sehingga bisa dinikmati dengan nyaman. 

Tak pelak, inilah buku yang bisa dijadikan pilihan bagi penyuka kisah-kisah kriminal yang tidak sekadar menghendaki bentangan aksi kriminal, tapi juga pemahaman lebih dalam akan situasi yang mengatalisasi tindak kriminal tersebut dan efek yang kemudian ditimbulkannya.

1 comments:

Aksiku - Toko Buku Bekas Online said... Reply Comment

Permisi Min, info ini mungkin dapat bermanfaat buat pencari Novel Blind Eye, novel ini dijual di www.aksiku.com, ini linknya: http://www.aksiku.com/2015/08/jual-novel-blind-eye-dokter-pencabut.html

Terima kasih, Salam

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan