06 February 2012

The Templar Legacy


 

Judul Buku: The Templar Legacy
Penulis: Steve Berry
Penerjemah: Esti Ayu Budihabsari

Cetakan: 1, 2006
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Setelah Dan Brown mengembuskan badai ke bangunan iman Kristen dengan Da Vinci Code yang mengusung tesis basi Yesus menikahi Maria Magdalena, Steve Berry penulis yang antara lain telah menghasilkan novel The Amber Room dan Romanov Prophecy, ikut-ikutan memicu badai yang baru. 

The Templar Legacy (Warisan Templar) karya Berry keempat, sangat jelas bertujuan untuk meletupkan kontroversi baru.

Sang pengacara membuka novelnya dengan penyaliban ketua Ordo Templar ke-22, Jacques de Molay oleh Guillaume Imbert, di kulminasi kehancuran ordo. Setelah kekalahan di Acre (1291) menyusul jatuhnya kerajaan Kristen Yerusalem ke tangan penguasa Muslim, Saladin (1187), ordo ternyata berkembang di Eropa menjadi pusat pasar uang. Raja Philip IV yang ingin menguasai kekayaan Templar melemparkan tuduhan bidah kepada ordo  dan mengakibatkan penangkapan anggota ordo.  Jacques de Molay kemudian dibakar di tiang pancang dan ordo dibubarkan oleh Paus Clement V.

Di masa kini, Stephanie Nelle, yang telah kehilangan Lars, suaminya dan Mark, anaknya, datang ke Kopenhagen, Denmark karena seseorang mengirim  jurnal suaminya kepadanya. Cotton Malone, mantan agen lapangan Stephanie di Departemen Kehakiman, yang telah malih profesi sebagai pedagang buku antik di Kopenhagen bertemu dengan Stephanie setelah perempuan itu jadi korban rampok.

Ternyata ordo masih eksis. Tanpa diketahui khalayak, anggota ordo yang tersisa mengundurkan diri ke biara di Pyrenees, menyamar sebagai komunitas biara biasa. Kematian ketua ordo menimbulkan sengketa di biara, antara Seneschal (orang penting ke 2 setelah ketua) dengan marshal bernama Raymond de Roquefort. Bersama Geoffrey, biarawan ordo yang lain, Sang Seneschal melarikan diri dari biara. Tujuan pelarian mereka, sekaligus menjadi tujuan Stephanie dan Cotton.

Raymond ternyata memiliki ambisi untuk mengembalikan kejayaan ordo. Dan untuk mencapai tujuannya, dia membiarkan Stephanie-Cotton masuk dalam rencananya. Dibayangi Raymond, Stephanie dan Cotton bersama sang Seneschal berusaha menguak apa sebenarnya yang dimaksud dengan Rancangan Besar (The Great Device). 

Pencarian mereka yang berpatokan pada jurnal Lars melibatkan serangkaian pribadi dengan rahasia mereka masing-masing seperti Henrik Thorvaldsen, Cassiopeia Vitt, dan Royce Claridon. Perlahan-lahan mereka berhasil menyingkapkan apa yang terjadi di masa lalu di pedesaan Prancis yang melibatkan sosok bernama Berenger Sauniere, sebagai rambu-rambu menuju kepada penemuan Rancangan Besar.

Cerita mencapai klimaks di sebuah situs Templar dekat St. Aguluos. Rancangan Besar ternyata telah menanti di sana bertahun-tahun lamanya. Rancangan Besar adalah bukti sebuah rahasia yang berpotensi menghancurkan iman sebuah agama terbesar di dunia. Rahasia inilah yang dikejar Raymond untuk membangkirkan kembali kejayaan ordo.

Persis seperti Da Vinci Code, hanya dengan karakter antagonis dan rahasia yang berbeda. Rahasia mengenai Rancangan Besar itulah sebenarnya yang menjadi daya tarik novel ini, menciptakan tanya di benak pembaca dan mencetuskan ketegangan.

Selain Raymond, tokoh-tokoh lain berkesan biasa-biasa saja. Stephanie dan Cotton jelas bukan duet yang menarik. Sang Seneschal walaupun bukan karakter yang menarik, tetapi memberi warna dengan pengungkapan mengejutkan siapa dia sebenarnya di tengah novel. Tokoh ketua yang baru meninggal ternyata telah menjadi screenplayer untuk sebuah drama yang penting bagi ordo.

Cerita mengambil setting Eropa tentu saja cukup menarik. Tetapi perihal Cotton Malone yang menjadi pedagang buku antik di Kopenhagen terasa dipaksakan kendati penulis menjabarkan latar belakangnya. Kenyataan itu memang sengaja dirancang Berry supaya Stephanie bisa bertemu Cotton di Kopenhagen, melindungi nenek nekat ini.

Secara keseluruhan, The Templar Legacy cukup menarik. Namun, berulang dihadapkan pada tema kontroversi yang berporos pada eksistensi Yesus, akan membuka kemungkinan terciptanya kebosanan. Sebagai intinya, novel ini sebenarnya tidak lebih dari upaya Berry untuk menggemakan kembali pernyataan aneh Paus Leo X  yang berbunyi "Selama ini mitos Kristus sudah sangat berguna bagi kita."

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan