11 February 2012

A Thousand Splendid Suns



Judul Buku: A Thousand Splendid Suns
Penulis: Khaled Hosseini
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani

Tebal: 516 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, November 2007
Penerbit: Mizan Pustaka



Kisah Sedih Dari Balik Burqa

 
 

One could not count the moons that shimmer on her roofs
And the thousand splendid suns that hide behind her walls
(Siapa pun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar
di atas atap, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding)





Kalimat di atas adalah nukilan puisi berjudul "Kabul", hasil terjemahan Dr. Josephine Barry Davis dari karya pujangga Persia, Saib-e-Tabrizi (1601-1677) yang menjadi sumber judul novel kedua Khaled Hosseini ini. Puisi ini menceritakan tentang keindahan Kabul, ibu kota Afghanistan, sebelum ratusan tahun kemudian dirusak badai konflik berkepanjangan. Kabul yang dirundung peperangan itulah yang menjadi seting utama kisah dalam novel Hosseini yang diindonesiakan oleh Berliani Nugrahani (yang sebelumnya telah menerjemahkan The Kite Runner, karya perdana Hosseini) dan diterbitkan PT Mizan Pustaka. 

Penggunaan seting yang sama oleh lelaki kelahiran Kabul 4 Maret 1965 yang pada tahun 2006 dianugerahi penghargaan Humanitarian Award dari United Nations Refugee Agency, bisa dimengerti. Hosseini berdarah Afghanistan dan dapat dipastikan sangat mengetahui seluk beluk Afghanistan. Meski, dari riwayat hidupnya bisa diketahui Hosseini tidak mengalami penderitaan panjang yang dialami masyarakat kebanyakan Afghanistan. Keluarga Hosseini sedang berada di Paris ketika Afghanistan jatuh dalam pendudukan Soviet. Mereka mendapatkan suaka politik dari pemerintah AS dan menetap di San Jose, California.

Jika dalam The Kite Runner (2003) Hosseini menciptakan kisah yang berporos pada kehidupan ayah dan anak laki-lakinya serta persahabatan antara dua laki-laki, kali ini dia menggunakan kehidupan ibu dan anak perempuan serta persahabatan di antara dua perempuan. Ini yang mungkin menjadi salah satu penyebab A Thousand Splendid Suns memiliki cita rasa yang berbeda dengan The Kite Runner, kendati kisahnya sama-sama dilarung di lautan konflik Afghanistan.

Untuk kepentingan novel yang awalnya bertajuk Dreaming in Titanic City ini, Hosseini yang sepanjang tahun 2006 menjadi duta besar keliling untuk UNHCR -organisasi PBB yang menangani masalah pengungsi- mengumpulkan pengalaman hidup para perempuan Afghanistan ketika bertugas di sana. Maka, dari balik burqa, pakaian wajib perempuan Afghanistan sesuai aturan rezim yang berkuasa, lahirlah kisah dua perempuan yang berdarah-darah dan bersimbah air mata. Terasa lebih sarat nelangsa dibanding kisah dalam The Kite Runner.

Mariam, perempuan pertama yang penderitaannya disodorkan Hosseini, adalah anak haram (harami) seorang pembantu (Nana) dengan Jalil Khan, majikannya yang kaya raya di Herat -sekitar 650 km sebelah barat Kabul. Sebagai seorang harami, Mariam ditolak di rumah Jalil karena keberadaannya mengancam nama baik keluarga. Tetapi di kolba (pondok) Nana, kehadiran Mariam juga tidak bisa diterima dengan cinta. Sejak awal, Mariam yang tidak berpendidikan sudah didapuk sebagai perempuan menderita. Hanya rahim seorang perempuan epilepsi yang bersedia melindunginya.
 
Meski Nana bersikeras menciptakan jarak antara Mariam dari Jalil, Mariam tetap teguh menarik perhatian ayah biologisnya. Keteguhan hati si kecil Mariam mesti ditebus dengan mahal. Ibunya bunuh diri dan Mariam disingkirkan dari Herat oleh keluarga Jalil. Mariam dikawinkan dengan laki-laki berusia sekitar 3 kali lipat usianya, seorang tukang sepatu terkenal di Kabul yang ditinggal mati istri dan anaknya. 

Di Deh-Mazang, bagian barat daya Kabul, Mariam dipaksa untuk menyaksikan realisasi perkataan ibunya bahwa,  "Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara, telunjuk laki-laki juga selalu teracung untuk menuduh perempuan." (hlm. 20). Setelah berulang gagal memberikan anak untuk Rasheed, sang suami memperlakukannya secara semena-mena. Sebagai contoh, Rasheed memerintah Mariam mengunyah segenggam kerikil gara-gara nasi yang ditanaknya tidak sesuai keinginan Rasheed (hlm. 133-134). 

Mariam merasa penderitaannya akan bertambah ketika seorang gadis terpelajar bernama Laila, tanpa sengaja, memasuki kehidupan keluarganya. Remaja yang menjadi korban serangan roket itu ditolong Rasheed dari reruntuhan bangunan rumahnya. Ia menjadi yatim piatu dalam satu hari, saat hendak meninggalkan Kabul, sementara dua abangnya telah lebih dahulu tewas ketika berjihad melawan Soviet. Pertolongan Rasheed yang berpamrih berbuntut  pada berakhirnya cinta Laila pada remaja buntung bernama Tariq yang telah menghamilinya. Laila menjadi istri muda Rasheed. 

Kedua perempuan dari dua latar belakang berbeda itu saling menemukan dan merajut tali kasih dalam penderitaan yang dilecut suami mereka. Tali kasih yang erat membuat mereka berupaya menemukan seribu mentari surga yang terbenam dalam hidup mereka. Di ujung persahabatan indah dua perempuan Afghanistan ini, mereka menyadari betapa mahalnya semburat cahaya seribu mentari surga yang mereka dambakan.

Novel A Thousand Splendid Suns dibagi dalam 4 bagian dan 51 bab. Peritiswa-peristiwa dalam novel ini bergulir sejak tahun 1964 (saat Mariam berusia 5 tahun) hingga tahun 2003 (saat seribu mentari surga akhirnya bersinar dalam hati Laila). Bagian pertama terfokus pada kehidupan Mariam, bagian kedua menyorot kehidupan Laila, bagian ketiga asimilasi kehidupan kedua perempuan ini, bagian keempat hadir sebagai antiklimaks, bagian paling melegakan dalam novel ini.

Kisah dalam novel berlangsung seiring perguliran sejarah Afghanistan. Diawali dari sebuah kerajaan di bawah pemerintahan Zahir Shah, republik di tangan Daoud Khan, Republik Demokratis Afghanistan di bawah pimpinan Najibullah si boneka Soviet dan komunis, Negara Islam Afghanistan dalam rezim Mujahidin; rezim Taliban hingga terusirnya para Talib. Sejarah gelap Afghanistan ini dihiasi hujan roket, bom, pembunuhan, pemerkosaan, penjarahan, penyiksaan, dan eksekusi yang seolah-olah tidak berkesudahan.

Hosseini melukiskan bagaimana perguliran sejarah Afghanistan membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan warga Afghanistan. Terutama dalam kehidupan kaum perempuannya. Pada tahun 1978 sampai 1992 perempuan Afghanistan mendapatkan kemerdekaan dan kesempatan untuk berkarya. Tapi sejak Mujahidin mengambil alih kekuasaan pada April 1992 dan mengubah Afghanistan menjadi Negara Islam Afghanistan, Mahkamah Agung di bawah kepemimpinan Rabbani yang beranggotakan mullah dari kalangan garis keras menolak kebijakan era komunis tersebut. Mereka mengeluarkan undang-undang berdasarkan Syariah, hukum Islam yang keras. Perempuan diperintahkan untuk mengenakan burqa yang menutupi setiap jengkal tubuh mereka; tidak boleh melakukan perjalanan tanpa ditemani kerabat pria dan terancam rajam jika melakukan zina; kabur dari rumah bahkan disahkan sebagai tindakan kriminal bagi mereka. 

Setelah rezim Taliban, kehidupan perempuan Afghanistan bahkan lebih parah lagi. Laki-laki hanya dikenai keharusan memelihara janggut dan melaksanakan kewajiban umum seperti shalat serta mematuhi berbagai larangan berkesenian dan hal-hal remeh lainnya. Sementara kaum perempuan selain harus tunduk pada semua aturan yang dikenakan pada laki-laki (kecauali memelihara janggut), masih harus memikul berbagai aturan lainnya. Mereka tidak boleh bekerja dan bersekolah, dilarang berbicara kalau tidak diajak bicara serta tertawa di tempat umum. Mereka harus tinggal di rumah sepanjang waktu, dilarang menunjukkan wajah dalam situasi apa pun dan melakukan kontak mata dengan laki-laki. Mereka tidak diizinkan memakai alat rias, perhiasan, dan pakaian yang indah. Apabila kedapatan berzina atau dituduh berzina, mereka akan dirajam sampai mati.

Hosseini menunjukkan betapa perempuan Afghanistan dibuat menderita oleh desakan adat, agama, dan egoisme laki-laki. Mereka mesti bertahan menghadapi situasi ini karena memang, "hanya ada satu keahlian yang harus dikuasai perempuan (Afghanistan), yaitu bertahan" (hlm. 33). Penderitaan dan bagaimana perempuan Afghanistan bertahan inilah yang menjadi modal utama Hosseini dalam menggerakkan kisahnya.

Karena perempuan menjadi fokus utama Hosseini, ceritanya menjadi terkesan 'sangat perempuan'. Hal ini mengindikasikan keberhasilan penulis, sebagai laki-laki, dalam mengolah dan mendedah perasaan perempuan. Hosseini mampu menggambarkan perasaan tokoh-tokohnya dengan sangat menyentuh sekaligus tragis. Hasilnya, sebuah kisah memilukan yang bergulir dalam plot melodramatis khas sinetron. Coba simak perjalanan kehidupan Mariam, misalnya. Dari seorang harami, dipaksa kawin dengan laki-laki jauh lebih tua dari usianya oleh persekongkolan tiga istri ayahnya, ditindas suaminya, kemudian dimadu. Mariam tak pernah kehilangan penderitaan sampai penghujung hidupnya yang nyaris sia-sia, jika Laila dan kedua anaknya tidak hadir dalam hidupnya. Untunglah, plot ala sinetron ini diuntai dalam sejarah gelap Afghanistan, sehingga kisahnya menjadi sangat relevan karena realistis. 

Jalinan narasi yang indah dan dialog-dialog yang mengalir lancar menjadi kelebihan Hosseini yang lain. Terkadang dialog-dialognya terasa sangat menggoyang emosi. Antara lain saya sangat terkesan dengan dialog-dialog antara Mariam dan para Talib ketika para lelaki serban ini bersikap sok dalam menentukan hidup Mariam (hlm. 447-450). Untunglah, untuk edisi Indonesia, kelebihan gaya penulisan internis dari Cedars-Sinai Medical Center Los Angeles ini disulihkan dalam bahasa Indonesia dengan baik oleh penerjemah. 

Sebagaimana The Kite Runner, Hosseini juga bermodalkan kisah 'cinta' segitiga yang mengundang petaka dalam A Thousand Splendid Suns. Jika dalam The Kite Runner ada 'cinta' segitiga Baba-Amir-Hasan; dalam A Thousand Splendid Suns, terdapat 'cinta' segitiga Rasheed-Mariam-Laila serta Laila-Rasheed-Tariq. Sama-sama menjadi sumbu pendek dalam kisah Afghanistan versi Hosseini. 

Selain itu, dua novel ini sama-sama menyentil pengaruh seorang ayah yang menyebabkan konflik terbesar dalam hidup para karakter. Jika dalam The Kite Runner, cinta Baba yang membuat iri hati Amir sebagai penyebab konflik, dalam A Thousand Splendid Suns, cinta Jalil yang tidak leluasa membuat Mariam terpuruk dalam penderitaan yang tak berkesudahan.

Secara keseluruhan, novel yang pertama kali dipasarkan pada 22 Mei 2007 dan hak pembuatan filmnya telah dibeli Columbia Pictures ini sangat tidak mengecewakan. Selain membuka wawasan mengenai sejarah Afghanistan yang sebelumnya tidak terlalu komplit dikisahkan dalam The Kite Runner, juga bisa lebih memahami perjuangan perempuan Afghanistan bertahan hidup di tempat mereka terpuruk atas nama adat, agama, dan egoisme laki-laki. Yang paling utama, agaknya Hosseini ingin dunia mengetahui kehidupan dan suara hati para perempuan Afghanistan dari balik burqa yang memagari kehidupan mereka, yang seperti laki-laki, juga manusia ciptaan Tuhan.

Saya tidak sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa A Thousand Splendid Suns lebih baik dari The Kite Runner. Bukan karena saya merasakan emosi yang lebih kuat ketika membaca The Kite Runner. Tapi karena masing-masing memiliki kelebihan dan keindahan tersendiri.. 

Bagi para pembaca yang suka fiksi tragis bersimbah air mata yang ditulis dengan indah,  A Thousand Splendid Suns adalah pilihan yang tepat.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan