Judul Buku : The Hidden Face Of Iran
Catatan Perjalanan Warga Amerika Serikat Menembus Jantung Negeri Iran
Judul Asli : Searching for Hassan : a Journey to The Heart of Iran
Penulis : Terence Ward
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Tebal: 579 halaman
Cetakan: 1, Maret 2007
Penerbit : Rajut Publishing
"Kesedihan dan kebimbangan melingkupi hari-hari terakhir kami di Teheran, saat kami mengemasi kehidupan kami dalam kardus-kardus, berjalan di bawah pergola dan tanaman murbei yang berselimut embun, menggerogoti makan malam berupa chello kebab terakhir yang disiapkan Hassan, menahan turunnya air mata." (hlm. 26). Demikianlah ungkapan Terence Ward saat mengenang hari-hari terakhir keluarganya di Teheran, Iran, hingga 4 Juli 1969, saat harus mengucapkan selamat tinggal kepada Iran dan warganya yang mereka sayangi. Mereka pindah ke Amerika setelah 10 tahun (1960-1969) hidup di Iran dan menjalin hubungan baik dengan keluarga Hassan Ghasemi -pelayan, tukang masak, dan juga "ayah Persia" ke-4 bersaudara Ward: Terence (Terry), Chris, Richard, dan Kevin.
Sepeninggal
keluarga Ward, keluarga Ghasemi ternyata tidak bertahan dengan majikan
baru. Mereka kembali ke tempat kelahiran Hassan yang secara samar-samar
diingat Donna Ward –nyonya Ward- sebagai "Toodesht". Belakangan,
diketahui tidak ada desa bernama Toodesht, sehingga kontak di antara
mereka terputus. Bagi keluarga Ward, keluarga Ghasemi telah hilang.
Mungkin juga telah menjadi korban perang.
Tahun-tahun
berlalu, revolusi Iran menyingkirkan Shah terakhir dari tampuk
kekuasaan, Republik Islam (Syiah) diproklamirkan, dan Ayatollah Ruhollah
Khomeini diangkat sebagai pemimpin tertinggi. Para tahanan memenuhi
penjara. Pengadilan revolusi memerintahkan hukuman mati terhadap
orang-orang yang dianggap sebagai pengkhianat; pabrik, perumahan, tanah,
dan kekayaan pribadi dibekukan; ribuan orang meninggalkan Iran. Sang
pemimpin baru menyatakan perang terhadap Amerika dan menggelari negara
itu sebagai "Setan Besar" (Great Satan) sekaligus mem-personanongrata-kan
warga negara Amerika. Dalam periode itu, Saddam Hussein menginvasi
Iran, perang berkecamuk, dan bagi keluarga Ward, tembok keheningan telah
berdiri antara masa lalu dan masa kini mereka yang terkait dengan Iran.
"Pada
malam hari, aku memimpikan pohon delima dengan buah yang begitu ranum,
sehingga retak dan menampilkan isinya yang semerah darah." (hlm 32).
Demikian selanjutnya Terry mengungkapkan imajinya tentang kondisi Iran.
Negara ini menjadi negara Islam fundamentalis yang memberlakukan
hukuman cambuk. Para anak laki-laki digunakan sebagai ranjau hidup di
garis depan Irak dan para wanita terbelenggu cadar hitam ( "Anak
laki-laki bebas pergi ke sana ke mari tanpa harus mengenakan ini. Tak
ada penjelasan dalam Al Quran tentang pakaian seperti ini," kata seorang gadis muda bercadar hitam, hlm. 189). Mantra "marg bar Amrika" menjadi litani para mullah dengan tangan terkepal. Iran terputus dari dunia luar dan lambat laun menuju tebing chaos.
Hingga
akhirnya seorang ulama moderat bernama Mohammad Khatami terpilih
sebagai presiden pada Agustus 1997. Ia menawarkan perdamaian pada
Washington untuk pertama kalinya sejak kejatuhan Shah pada 1979 dan
mengatakan tentang berbicara 'dari mulut ke mulut' dengan warga Amerika.
Sebuah kondisi yang oleh para jurnalis disebut sebagai "Tehran Spring",
saat suara masyarakat menjadi perhatian, di surat kabar, jalanan,
pasar, atau bahkan, dalam taksi. Hal ini membuat keluarga Ward
bersemangat meretas jalan: kembali ke Iran, sambil menghalau rasa takut,
dalam perjalanan buta untuk menemukan Hassan, setelah hampir 30 tahun
terpisahkan. Padahal kenalan mereka yang asli Iran sendiri memandang
perjalanan mereka sebagai kegilaan sesaat. Tapi adalah Donna Ward, sang
ibu, yang tidak kenal menyerah. Wanita kuat ini yakin akan bisa
menemukan Hassan dan keluarganya. Sekalipun tidak ada alamat, tidak ada
nomor telepon, tidak ada informasi apa pun. Hanya sebuah foto hitam
putih yang diambil tahun 1963. Padahal mencari orang bernama Hassan di
Iran tidak mudah. Bisa jadi ada lebih dari 2 juta Hassan di negeri
mullah ini. Donna memegang keyakinan bahwa "Love knows no geography and knows no boundaries."
Maka,
tergelarlah kisah perjalanan menembus jantung Iran ini sebagai
rangkaian nostalgia masa silam, perjalanan menyaksikan wajah Iran yang
terkoyak, dan perjalanan pencarian keluarga Hassan.
Ward menuturkan: "Pada awal April 1998, keluargaku memulai perjalanan yang telah lama kami nantikan, untuk kembali ke kampung halaman. Bukan
ke tanah leluhur kami di Irlandia, melainkan ke Iran. Sementara
kebanyakan warga Amerika masih bergidik membayangkan kekejaman para
penyandera dan teroris yang gelap mata, kami menyingkirkan rasa takut
yang menguasai. Aku dan ketiga saudaraku, bersama kedua orang tua kami
yang telah berumur, akan melintasi dataran tinggi Iran yang luas dalam
perburuan buta untuk menemukan Hassan, sahabat kami yang hilang, dan
juga mentor yang telah merawat kami di Teheran bertahun-tahun
sebelumnya." (hlm. 33). Bagi Ward perjalanan ini, "akan
menjadi penjelajahan lintas-budaya untuk menemukan kembali sebuah
negara, penduduknya, dan keluarga angkat Iran kesayangan kami." (hlm. 34).
Oleh
karena itu, sambil membuntuti kisah perjalanan keluarga Ward, kita juga
akan menemukan serpihan kenangan masa lalu yang mengambang di tepian
kenangan Terry; uraian kondisi raut wajah Iran yang berbeda dari
masa-masa sebelumnya dalam pusaran egoisme para mullah dan pandangan
masyarakat Iran sendiri terhadap situasi saat itu termasuk
ketakutan-ketakutan mereka; warisan keindahan dan kedigdayaan Persia
yang terancam musnah; kebudayaan eksotik dalam arsitektur, karya sastra,
dan musik serta daya tarik bentang alam. Di antara hamburan informatif
ala Terence Ward, pembaca juga akan menemukan perenungannya sebagai
hasil cernanya terhadap tatanan kehidupan Iran.
Sebagai contoh:
"Betapa
ironisnya, pikirku, bahwa di sepanjang Timur Tengah, hanya penduduk
Iranlah yang memiliki keterkaitan masa lalu dengan bangsa Yahudi. Mereka
memiliki ikatan sakral selama lebih dari dua ribu tahun. Dan betapa
anehnya sekarang ini, karena hanya dalam dua puluh tahun, para mullah
telah menjadikan Israel sebagai bête noir mereka, simbol musuh
Republik Islam. Cyrus, putusku, dapat mengajarkan kepada mereka lebih
banyak pelajaran tentang pencerahan moral." (hlm 152-153).
"Sementara
warga Iran modern mungkin secara patriotis mengagumi para leluhur jauh
mereka, sulit bagi mereka untuk melarikan diri dari penilaian para
ulama: masa lalu sepenuhnya kafir. Para mullah di Teheran menyepakati
satu hal: para leluhur tidak memiliki peran apa pun dalam kehidupan
kita….. Para pengawal keimanan berjubah hitam yang berjaya hari ini
mencoba membebaskan diri sepenuhnya dari masa lalu. Pedang tajam
membungkam protes yang dilayangkan." (hlm 186).
Atau
"Saat kami pergi, aku memikirkan tentang Esther dan putranya –bagaimana keamanan mereka di bawah pemerintahan mullah? Aku
merasa, kedudukannya sama lemahnya dengan pion tanpa perlindungan di
atas papan catur. Beberapa orang penganut garis keras menikmati
kemerdekaan menyerang siapa pun untuk mencapai tujuan mereka." (hlm. 212).
Dari
tanah para sheikh Bahrain, bermodalkan keberuntungan Irlandia dan
rahmat Allah, mereka menjejak Iran, menuju Tudeshk -bukan Toodesht.
Sesampai di Tudeshk mereka dihadapkan dengan informasi yang menyatakan
jika Hassan dan istrinya, Fatimeh, telah meninggal. Donna Ward tidak
percaya. Keyakinannya yang memesona akhirnya membuka jalan pada
pertemuan dengan Hassan. Bertahun-tahun telah berlalu, dan waktu telah
mengguratkan karat, mengubah sosok Hassan. Alhasil, pertemuan dengan
Hassan di sebuah hotel di Isfahan berlangsung menggelikan sekaligus
mengharukan. Richard, adik Terry, yang tak tahan untuk bertemu Hassan,
memeluk penjaga pintu hotel yang disangkanya sebagai Hassan.
The Hidden Face of Iran
yang telah diterbitkan dalam 7 bahasa termasuk bahasa Indonesia hadir
sebagai sebuah memoar yang indah, menawan, dan mengharukan. Ia memberi
pemahaman betapa kasih sayang dan persahabatan tidak mengenal batas
waktu dan budaya. Kasih sayang dan persahabatan bisa menjelma
katalisator menuju kehidupan yang indah dan jembatan bahkan bagi jurang
paling dalam dan berbahaya yang diciptakan oleh politik, kebudayaan, dan
agama. Terence Ward, putra kedua pasangan Patrick dan Donna Ward, yang
saat ini bekerja sebagai konsultan lintas-budaya yang memberikan nasihat
bagi berbagai perusahaan dan pemerintah di dunia Islam dan di dunia
Barat bertindak sebagai narator dalam kisah perjalanan ini. Buku ini sendiri berjudul asli Searching for Hassan: a journey to the heart of Iran. Untuk edisi Indonesia diberi judul baru, The Hidden Face of Iran: Catatan Perjalanan Warga Amerika Serikat Menembus Jantung Negeri Iran dan diterjemahkan dengan indah oleh Berliani Nugrahani.
Ditulis
secara menarik, buku ini akan membuat pembaca tergerak untuk mengikuti
terus perjalanan keluarga Ward dan pengamatan serta pemikiran yang tajam
ihwal budaya dan tradisi Iran dari sang penulis. Kemampuan lelaki
kelahiran Colorado tahun 1955 ini dalam menjalin ekposisi yang indah
membuat tulisannya terasa mengalir dan enak untuk diikuti. Tak pelak,
kita akan bersetuju jika ada pihak yang menyatakan jika The Hidden Face of Iran
adalah sebuah karya yang ditulis dari tempat yang tepat (hati) dan
dengan pencarian pikiran yang pas (pencarian terhadap anugerah).
0 comments:
Post a Comment