Judul Buku: Red Leaves
Penulis: Thomas H. Cook
Penerjemah: Elka Ferani
Penerbit: Dastan Books
Penulis: Thomas H. Cook
Penerjemah: Elka Ferani
Penerbit: Dastan Books
Larutan Asam dan Daun-daun Merah
"Kecurigaan itu bersifat asam. Semua yang disentuhnya akan rusak. Ia merusak permukaan halus dan berkilauan sebuah benda dan bekas yang ditinggalkannya tidak dapat dihilangkan".
Itulah sebetulnya esensi dari novel luar biasa ini. Kecurigaan.
Paranoid. Sumber problem.
Vincent Giordano. Dan terutama Eric Moore adalah paranoid. Paranoid merupakan larutan asam berdaya korosi tinggi. Dan dari genangan larutan korosif inilah, kisah Red Leaves mengalir pedih dan mengiris.
Eric Moore mengidap paranoid kronis yang tidak disadarinya telah terbentuk di balik selimut masa lalu keluarganya yang disingkap dengan kejam untuk bersanding dengan teror masa kini dalam kehidupannya.
Dengan telaten, Thomas H. Cook, sang pengarang, mencabik-cabik masalah paranoid seputar kehidupan Eric, yang telah merusak kehidupannya dan keluarganya. Keluarga dan kehidupannya disimbolkan oleh pengarang sebagai pohon mapel Jepang di ujung gang rumah Eric. Dampak dari pada paranoidnya, digambarkan dengan tumbangnya pohon mapel itu akhirnya.... setelah daun-daunnya gugur, bak genangan darah.
Warren. Keith. Meredith. Perkawinan Eric. Semuanya adalah daun-daun merah yang berguguran dari dahan pohon mapel Jepang.
Kehidupan Eric adalah pohon mapel Jepang itu sendiri.
Kita bisa menikmati kisah larutan asam dan daun-daun merah ini karena Amy Giordano yang secara tak sengaja menguak masa lalu Eric yang pedih. Ironisnya, Amy-lah aspek krusial dalam kisah yang menghancurkan kehidupan Eric. Amy ingin membereskan segalanya sebelum menikah, mereduksi karat-karat akibat korosi yang (mungkin) ditakutinya bakal mengorosi kehidupannya dan keluarganya kelak, aroma pembalasan dendam belasan tahun silam.
Sebuah kesan mendalam yang timbul dari novel ini adalah Thomas menuliskannya dengan apik dan memikat. Dia benar-benar seniman, filsuf daun-daun mapel, dan sekaligus pesulap. Misteri sama sekali bukan terungkap setelah belasan tahun peristiwa penculikan itu terjadi. Misteri telah terungkap setelah Keith tewas, jauh sebelum Amy memutuskan ingin bertemu Eric, tapi untuk pembaca seolah-olah belasan tahun kemudian. Untuk mengungkapkan misteri ini pada pembaca-lah penulis memberi alasan bagi pertemuan Amy dan Eric. Sesuatu yang mengganggu benak Eric, bahwa sampai belasan tahun peristiwa itu terjadi, dia masih betah berada di Wesley sementara hidupnya sebatang kara di sana.
Cerita belasan tahun silam yang dibaca pembaca (dan dicetak beda dengan cerita masa kini) sesungguhnya uraian kisah di benak Eric, dalam pikiran Eric. Kita sedang membaca pikiran Eric saat penulis menuturkan masa lalu dengan menggunakan perspektif orang pertama. Kita sedang membaca isi benak Eric yang sedang menunggu kehadiran Amy Giordano. Pada saat kita membaca elaborasi penulis, kita mengikuti alur cerita dalam benak Eric yang akan dikisahkan Eric pada Amy, sebagai hadiah pernikahan gadis itu. Supaya Amy bisa memetik manfaat dari kesalahan-kesalahan Eric di masa lalu.
Perhatikan halaman 409: "Aku akan mulai dari akhir," katamu kepadanya. "Di hari aku meninggalkan rumahku." Dengan kata lain, kisah yang terjadi pada keluarga Eric di masa lalu telah terlebih dahulu diketahui "pembaca" daripada "Amy Giordano". Ketika Eric nanti bercerita pada Amy, tentu saja dia akan memulai dengan pergi ke halaman 19 waktu dia meninggalkan rumahnya pada suatu hari yang dingin di bulan Oktober, untuk selamanya.
Cerita masa kini juga sama, terjadi di benak Eric dalam bentuk tuturan nuraninya kepada dirinya sendiri, sehingga Thomas H. Cook memakai gaya bercerita seolah-olah ada yang sedang berbicara kepada Eric.
Gaya bercerita yang WOW, campuran keindahan bertutur dan kebrilianan berimajinasi, belum pernah saya temukan pada novel-novel yang pernah saya baca.
Tapi tak ada gading yang tak retak.
Pertama, sebuah retak kecil, yaitu saat penuturan menggunakan "Kau" bercampur sedikit dengan menggunakan "Aku" (hal. 403-404). Dalam bertutur seorang penulis tentu saja harus konsisten menggunakan perspektif penceritaan, tidak mencampur dua persepsi dalam satu kotak.
Kedua, akhir kisah tetap menyisakan pertanyaan yang tak terjawab yaitu: apakah sesungguhnya motivasi penculik di balik peristiwa penculikan yang super penting dalam keseluruhan jalinan novel?
Meskipun demikian, Red Leaves merupakan novel yang gemilang, berbalut unsur humanis yang dituturkan unik dan dimulai dari akhir ketika kehancuran telah melengkapi segalanya. Tapi di atas kehancuran tersebut, kita tetap bisa melihat sesuatu yang berkilau bak "blessing in disguise", yang menciptakan senyuman di wajah Eric pada ending novel.
0 comments:
Post a Comment