Judul Buku: One of Those Hideous Books Where the Mother Dies
Penulis: Sonya Sones (2004)
Penerjemah: Rosi & Lianita Simamora
Tebal : 280 hlm; 20 cm
Penulis: Sonya Sones (2004)
Penerjemah: Rosi & Lianita Simamora
Tebal : 280 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Oktober 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ruby Milliken, gadis usia 15 tahun dan masih perawan, meninggalkan Boston setelah kematian ibunya. Ia terbang ke Los Angeles untuk tinggal bersama ayahnya. Whip Logan, sang ayah, adalah aktor kondang yang bercerai dengan ibunya saat Ruby masih dalam kandungan. Ia mendiami sebuah rumah mewah bak karya Walt Disney, bertetangga dengan Cameron Diaz, dan terkenal dengan panekuk kacang makadamia-nya.
Ruby
membenci Whip Logan dan tidak dapat memaafkan lelaki yang disebutnya
sebagai 'donatur sperma' (hlm. 30) ini. Karenanya, Ruby enggan tinggal
dengan Whip Logan. Tapi, Aunt Duffy -bibi Ruby- memiliki kehidupan pribadi dan rumah
Ruby telah beralih kepemilikan. Ruby tidak punya tempat pulang. Mau
tidak mau, ia harus tinggal dengan ayahnya.
Whip
Logan menyambut kedatangan Ruby dengan antuasias. Ia sangat bahagia
putrinya bisa tinggal dengannya. Untuk Ruby, Whip memberikan sebuah kamar
mewah. Sebuah kamar yang persis seperti keinginan Ruby dan pernah
dijadikannya sebagai materi dalam lomba esai dimana ia menang sebagai
juara pertama.
Di
rumah Whip tinggal juga Max, seorang asisten/pelatih pribadi/penolong
serbabisa. Ia seorang laki-laki besar berotot dan berjenggot dengan
suara berat dan serak. Tapi Ruby tidak bisa dibodohi. Dengan bakat yang sama dengan ibunya yang ia sebut "Radar Gay" -bakat yang tidak berfungsi ketika menghadapi salah satu tokoh penting novel- Ruby tahu Max seorang gay. Dan memang benar, Max mengaku memiliki seorang pacar lelaki bernama Ripley. Hal
yang tidak menjadi kendala bagi Ruby untuk bersahabat dengan Max.
Di
Los Angeles, Ruby bersekolah di sekolah baru, mendapatkan rekan-rekan
baru, separuhnya memiliki orangtua terkenal. Ia mencoba mempertahankan
kepribadiannya. Tapi termakan juga ketika mendengar Colette, temannya, menyatakan bahwa siswa perempuan di Lakewood -sekolah baru
Ruby- dianggap aneh bila masih perawan pada usia 15 tahun. Colette
sendiri melepas keperawanannya di ruang biliar di rumah seorang bintang
film tersohor, direnggut anak sang bintang, hanya dalam tempo satu
menit. "Seakan-akan itu (keperawanan Colette) hanya ketombe, dan seks hanyalah sampo Head & Shoulders," begitu
komentar Ruby (hlm. 182). Bagi Ruby, kehilangan keperawanan harus
menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan harapan itu, diam-diam ia
bayangkan akan terwujud pada saat kedatangan Ray Johnston, pacarnya, ke LA.
Sayangnya,
harapan Ruby tidak terwujud. Sebelum waktunya, Ray telah
mengkhianatinya. Ruby sakit hati, apalagi mengetahui jika Ray
berselingkuh dengan Lizzie Brody, sahabat baiknya. Tapi, di ujung kepedihan hati Ruby, ia bisa melihat kehidupan dengan jauh lebih jernih, tatkal ia menemukan jika Whip
Logan tidak sejahat yang ia bayangkan. Ayahnya yang tersohor ini
ternyata memiliki sejumlah kemiripan dengannya.
One of Those Hideous Books Where the Mother Dies (Salah Satu Buku Mengerikan Yang Tokoh Ibunya Mati) adalah novel ketiga Sonya Sones. Di Indonesia, oleh PT Gramedia Pustaka Utama, karya Sones ini dimasukkan dalam kelompok TeenLit.
Padahal di dalamnya kita bisa membaca ocehan tentang seks satu menit,
anak perempuan yang menyebut ayahnya sebagai donatur sperma dan
berpikir menendang buah zakar sang ayah, serta keinginan seorang gadis
(perawan) untuk tidur dengan pacarnya. Terasa kurang pas saja, kendati
tidak tertutup kemungkinan segmen utama TeenLit di Indonesia juga
memiliki pengalaman, ocehan, atau pikiran-pikiran remaja-remaja Amerika
seperti Colette dan Ruby.
Kisah
dalam novel ini memang tidak sangat istimewa; bukan tema baru dengan
kejutan yang baru (kendati kejutan yang ada rapi disimpan hingga
penghujung novel). Tapi juga bukan tidak menarik. Sones mengalirkan
cerita secara ringan dan kocak dari perspektif Ruby. Meski aslinya
Sones tidak muda lagi, dia bisa menyelundup masuk ke dalam jiwa seorang
gadis remaja. Alhasil, karyanya ini tidak terkesan dirangkai penulis
yang bukan remaja lagi.
Hal
lain yang membuat novel ini berbeda dengan novel sejenis adalah teknik
penulisan yang digunakan Sones untuk menggelindingkan ceritanya.
Perjalanan Ruby menemukan titik perdamaian yang manis dengan ayahnya
dirangkai dalam bentuk puisi. Bentuk puisi itu sebagian besar berisi
sebuah bagian cerita yang dituangkan dalam satu halaman. Setiap adegan
diberi judul yang terkadang merupakan kalimat awal tulisan yang
mengikutinya. Membaca novel ini seperti membaca puisi-puisi yang satu
demi satu berkelindan menjadi sebuah cerita yang utuh. Dengan
komposisi seperti ini, novel ini menjadi kisah bermuatan
kalimat-kalimat efektif yang enak dibaca dan jauh dari
membosankan.
Gaya seperti ini rupanya menjadi ciri khas Sonya Sones yang bisa dilihat pada novel-novelnya yang lain. Sebelum One of Those Hideous Books Where the Mother Dies (2004), Sonya Sones telah menghasilkan novel lain yaitu Stop Pretending: What Happened When My Big Sister Went Crazy (1999) -sebuah novel autobiografis dan What My Mother Doesn't Know (2001, diterbitkan Gramedia sebagai Ssst...Jangan Bilang-bilang Ibuku!). Setelah One of Those Hideous Books Where the Mother Dies, ia menulis novel What My Girlfriend Doesn't
Know (2007). One of Those Hideous Books Where the Mother Dies sendiri
terpilih sebagai IRA Young Adult's Choice dan menerima Cuffie Award
dari Publisher's Weekly sebagai Best Book Title of the Year.
Judul buku yang unik berasal dari tulisan Ruby (hlm. 13) tentang buku yang tidak ia sukai yang berjudul "Aku Suka Membaca":
Tapi sebaiknya hidupku tidak menjelma
menjadi salah satu buku mengerikan
yang tokoh ibunya mati
sehingga sang putri harus
hidup bersama sang ayah yang tak pernah muncul
yang ternyata
pencandu narkoba
yang dengan brutal memukuli
dan menganiayanya secara seksual
hingga menjadikannya
pembunuh berkampak yang mengidap bulimia. (hlm. 13).
menjadi salah satu buku mengerikan
yang tokoh ibunya mati
sehingga sang putri harus
hidup bersama sang ayah yang tak pernah muncul
yang ternyata
pencandu narkoba
yang dengan brutal memukuli
dan menganiayanya secara seksual
hingga menjadikannya
pembunuh berkampak yang mengidap bulimia. (hlm. 13).
Pada
akhirnya, kita dapat membaca jika hidup Ruby tidak tergelincir menjadi
'salah satu buku mengerikan yang tokoh ibunya mati', seperti yang ia
khawatirkan. Akhir buku tetap menyisakan kebahagiaan yang manis bagi
kehidupan Ruby.
Sayangnya, sampul edisi Indonesia sungguh tidak menarik. Warna, ilustrasi, dan tulisan judul novel tidak enak dipandang. Judulnya yang uniklah yang membuat saya memutuskan membaca buku ini. Dan ternyata -untunglah- buku ini tidak sekadar berjudul unik, tapi juga bermuatan materi yang bagus. Jadi, jangan tertipu oleh penampilan sampulnya.
0 comments:
Post a Comment