Judul Buku : A Spot of Bother (Bintik Gatal)
Penulis: Mark Haddon (2006)
Penerjemah: Ferry Halim
Tebal: 588 hlm; 13 X 20 cm(HVS)
Terbit: Cetakan 1, April 2008
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Nama Mark Haddon menjadi sangat dikenal dalam dunia literatur internasional setelah ia menulis novel dewasa pertamanya, The Curious Incident of the Dog in the Night-Time (edisi Indonesia, KPG, 2004) yang terbit tahun 2003. Novel itu ditulis untuk segmen pembaca dewasa, tetapi juga menghunjam pasar anak-anak. Bahkan, novel itu memenangkan lebih dari 17 penghargaan, termasuk Whitbread Book of the Year (2003) dan Commonwealth Writers' Prize Overall Best First Book (2004). Sebelumnya, lelaki kelahiran Northampton, 26 September 1962, yang juga seorang penyair, ilustrator, dan penulis skenario ini telah menulis belasan buku anak-anak.
Tiga
tahun setelah sukses novel dewasa pertamanya, Mark Hadon, peraih
berbagai penghargaan untuk karya-karyanya, kembali dengan novel dewasa
kedua bertajuk A Spot of Bother yang pertama kali terbit pada September 2006. Novel ini diedisi-indonesiakan oleh Penerbit Serambi dengan judul Bintik Gatal, merupakan hasil terjemahan yang apik dari Ferry Halim.
Kisah
dalam novel ini dipicu ketika George Hall, seorang pensiunan industri
manufaktur, sedang mencoba setelan hitam sebelum upacara pemakaman
seorang rekannya. Dikisahkan bahwa George pada usia 57 tahun telah
memasuki masa pensiun. Ia tinggal di rumahnya di Peterborough yang
dihuninya dengan Jean, istrinya, sambil menyibukkan diri dengan
membangun sebuah pondok di kebunnya.
Pada
waktu mengepas celana setelan itu, ia melihat segumpal daging
berbentuk bulat telur di pinggulnya, berwarna lebih gelap ketimbang
kulit di sekitarnya dan agak bersisik. Seketika George panik, dan
mendiagnosis sendiri jika ia terkena kanker. Sejak saat itu George
menjelma seorang hypochondriac sejati.
Ia merasa tidak puas, tertekan dan terusik dengan jejas itu. Padahal
menurut George, rahasia kepuasan hati terletak pada pengabaian terhadap
banyak hal secara menyeluruh. Namun ternyata, jejas yang ditemukannya
itu tidak bisa diabaikannya begitu saja.
Sementara
jejas itu menimbulkan kepanikan dalam diri George, putrinya, Katie,
datang mengumumkan pernikahannya. Katie, seorang janda dengan satu anak
laki-laki, Jacob, akan menikahi Ray, seorang duda yang oleh Jamie,
adik Katie, dikatakan memiliki sepasang tangan 'tukang cekik'. Baik
George maupun Jean, tidak menyukai teman kumpul kebo Katie ini.
Sebenarnya,
Katie sendiri tidak tahu pasti apakah ia benar-benar mencintai Ray
atau hanya sekadar menyukai kebaikan Ray. Ray memang menyayangi Jacob
dan menyediakan rumahnya untuk Katie dan Jacob bernaung. Tetapi Katie
belum bisa menampik ajakan minum kopi dari Graham, mantan suaminya.
Ketika Ray memergoki pertemuan itu, ia sangat cemburu dan meninggalkan rumah. Pernikahan mereka pun terancam batal.
Mengetahui
Katie akan menikah, Jamie yang adalah seorang homoseksual, menjadi
gusar. Ia bingung dengan keputusan Katie. Oleh karena itu, ia tidak
bisa memastikan diri untuk hadir. Bahkan, jika mungkin, ia harus
mencegah pernikahan itu. Tony, kekasih gay Jamie, merasa kecewa karena
Jamie tidak bermaksud membawanya ke pernikahan Katie. Menurutnya,
hubungan mereka tidak bisa dilanjutkan lagi, dan ia memutuskan
mengakhiri hubungan cinta. Tentu saja, Jamie panik karenanya.
Sementara
itu, Jean, istri George, diam-diam, berbulan-bulan telah berselingkuh
dengan David Symmonds, mantan rekan kerja George. Terbuai dengan cinta
David, Jean masuk dalam petualangan seks yang
menggairahkan dengan duda tua itu. Di sela-sela pekerjaannya sebagai
guru sekolah dasar dan pekerja paruh waktu di sebuah toko buku, ia
menghabiskan waktu bertemu dan mendapatkan kenikmatan jasmani dari
David. Hingga suatu hari, George menyaksikan sendiri perselingkuhan
istrinya, di tempat tidurnya sendiri. George yang masih belum lepas
dari kekacauan pikiran akibat jejas di pinggulnya, makin bertambah
kacau pikirannya.
Apakah
yang akan terjadi dengan rencana pernikahan Katie? Apakah Katie
benar-benar akan menikahi Ray? Bagaimana nasib percintaan senja Jean
dan David? Lalu, apa yang akan terjadi dengan cinta Jamie? Semuanya akan
terjawab pada bagian-bagian akhir novel yang mengundang senyum ini.
A Spot of Bother
adalah sebuah novel komedi-psikologis keluarga masa kini. Kesan
komikal berawal dari George dan kerumitan pikirannya merespons 'bintik
gatal' di pinggulnya. Kendati dokter menyatakan jejas itu hanya sejenis
eksem sehingga George tidak perlu kuatir berlebihan, tidak mudah untuk
George menerima. Kerumitan pikiran dan perasaan gara-gara penyebab
yang bisa dikatakan sepele ini (George tidak akan mati gara-gara bintik
gatal, dengan krim steroid toh sembuh juga) mengingatkan saya pada
karakter Jonathan Noel (satpam bank, 53 tahun) dalam novel Die Taube/Paranoid karya Patrick Süskind
(Dastan Books, 2007). Kedua novel ini mengisahkan lelaki tua yang
kehilangan akal sehat gara-gara hal sepele. Jika George gara-gara
sebercak eksim (yang sekali lagi tidak susah dihilangkan), Jonathan
Noel karena seekor merpati yang muncul di depan kamarnya. Tetapi, tentu
hanya sebatas itu saja, karena konflik psikologis George lebih kental
terasakan dalam jumlah halaman yang lebih banyak.
Sebenarnya,
tidak hanya George yang punya 'bintik gatal'. Hanya 'bintik gatal'
George memang kasatmata dan kita tidak heran ketika ia memutuskan untuk
mengguntingnya. Sementara 'bintik gatal' Jean, Katie, dan Jamie
tercermin dari kehidupan mereka sendiri. Bagi Jean, hubungan cintanya
dengan David adalah 'bintik gatal'-nya. Bagi Katie, ketidakpastian
cintanya pada Ray adalah 'bintik gatal'-nya. Sedangkan bagi Jamie
hubungan cinta sejenisnya dengan Tony adalah 'bintik gatal'-nya.
Bintik-bintik gatal itu mengembangkan pergulatan psikologis yang diramu
dengan asyik oleh Mark Haddon, sang penulis. Seiring dengan perguliran
plot, ketika waktunya tiba, kita melihat, bahwa semua bintik gatal
yang tergaruk itu akan dipulihkan dan sesungguhnya semua itu bukanlah
hal yang perlu terjadi. Seperti pikiran Geogre, "Sudah saatnya menghentikan semua omong-kosong ini."
Kisah
dalam novel ini, oleh Mark Haddon dibentangkan menggunakan perspektif
orang ketiga, dengan mengalirkan ceritanya dari kehidupan masing-masing
anggota keluarga Hall. Kejadian-kejadian yang dialami keluarga Hall
dipaparkan menggunakan 'mata' karakter George, Jean, Jamie, dan Katie
secara bergantian. Efeknya, pemahaman pembaca mengenai pikiran dan
perasaan masing-masing karakter merespons setiap kejadian menjadi kaya.
Memang, dengan gaya seperti ini, plot novel seolah-olah merayap lambat
dan perjalanan menuju klimaks terasa gemulai. Tetapi, hal ini tidak
mengurangi daya tarik novel. Haddon adalah pencerita asyik yang mampu
mengikat dan menghanyutkan pembaca hingga penghujung novel tanpa harus
tersiksa untuk menamatkannya. Awalnya, saya memang agak ragu untuk
segera bisa menamatkan novel ini, tetapi ternyata setelah memulainya,
setiap selesai satu bagian, langsung buru-buru ingin masuk ke bagian
berikutnya.
Tanpa berupaya menyodorkan ide-ide raksasa seperti dalam Da Vinci Code atau The Dante Club,
cukup dengan ide-ide sederhana yang tanpa kita sadari bisa terjadi
dalam kehidupan kita, Haddon telah menciptakan pesona tersendiri.
0 comments:
Post a Comment