11 February 2012

A Spot of Bother


Judul Buku : A Spot of Bother (Bintik Gatal)
Penulis: Mark Haddon (2006)
Penerjemah: Ferry Halim
Tebal: 588 hlm; 13 X 20 cm(HVS)
Terbit: Cetakan 1, April 2008
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
 
 

Nama Mark Haddon menjadi sangat dikenal dalam dunia literatur internasional setelah ia menulis novel dewasa pertamanya, The Curious Incident of the Dog in the Night-Time (edisi Indonesia, KPG, 2004) yang terbit tahun 2003. Novel itu ditulis untuk segmen pembaca dewasa, tetapi juga menghunjam pasar anak-anak. Bahkan, novel itu memenangkan lebih dari 17 penghargaan, termasuk Whitbread Book of the Year (2003) dan Commonwealth Writers' Prize Overall Best First Book (2004). Sebelumnya, lelaki kelahiran Northampton, 26 September 1962, yang juga seorang penyair, ilustrator, dan penulis skenario ini telah menulis belasan buku anak-anak. 

Tiga tahun setelah sukses novel dewasa pertamanya, Mark Hadon, peraih berbagai penghargaan untuk karya-karyanya, kembali dengan novel dewasa kedua bertajuk A Spot of Bother yang pertama kali terbit pada September 2006. Novel ini diedisi-indonesiakan oleh Penerbit Serambi dengan judul Bintik Gatal, merupakan hasil terjemahan yang apik dari Ferry Halim.

Kisah dalam novel ini dipicu ketika George Hall, seorang pensiunan industri manufaktur, sedang mencoba setelan hitam sebelum upacara pemakaman seorang rekannya. Dikisahkan bahwa George pada usia 57 tahun telah memasuki masa pensiun. Ia tinggal di rumahnya di Peterborough yang dihuninya dengan Jean, istrinya, sambil menyibukkan diri dengan membangun sebuah pondok di kebunnya. 

Pada waktu mengepas celana setelan itu, ia melihat segumpal daging berbentuk bulat telur di pinggulnya, berwarna lebih gelap ketimbang kulit di sekitarnya dan agak bersisik. Seketika George panik, dan mendiagnosis sendiri jika ia terkena kanker. Sejak saat itu George menjelma seorang hypochondriac sejati. Ia merasa tidak puas, tertekan dan terusik dengan jejas itu. Padahal menurut George, rahasia kepuasan hati terletak pada pengabaian terhadap banyak hal secara menyeluruh. Namun ternyata, jejas yang ditemukannya itu tidak bisa diabaikannya begitu saja.

Sementara jejas itu menimbulkan kepanikan dalam diri George, putrinya, Katie, datang mengumumkan pernikahannya. Katie, seorang janda dengan satu anak laki-laki, Jacob, akan menikahi Ray, seorang duda yang oleh Jamie, adik Katie, dikatakan memiliki sepasang tangan 'tukang cekik'. Baik George maupun Jean, tidak menyukai teman kumpul kebo Katie ini. 

Sebenarnya, Katie sendiri tidak tahu pasti apakah ia benar-benar mencintai Ray atau hanya sekadar menyukai kebaikan Ray. Ray memang menyayangi Jacob dan menyediakan rumahnya untuk Katie dan Jacob bernaung. Tetapi Katie belum bisa menampik ajakan minum kopi dari Graham, mantan suaminya. Ketika  Ray memergoki pertemuan itu, ia sangat cemburu dan meninggalkan rumah. Pernikahan mereka pun terancam batal.

Mengetahui Katie akan menikah, Jamie yang adalah seorang homoseksual, menjadi gusar. Ia bingung dengan keputusan Katie. Oleh karena itu, ia tidak bisa memastikan diri untuk hadir. Bahkan, jika mungkin, ia harus mencegah pernikahan itu. Tony, kekasih gay Jamie, merasa kecewa karena Jamie tidak bermaksud membawanya ke pernikahan Katie. Menurutnya, hubungan mereka tidak bisa dilanjutkan lagi, dan ia memutuskan mengakhiri hubungan cinta. Tentu saja, Jamie panik karenanya. 

Sementara itu, Jean, istri George, diam-diam, berbulan-bulan telah berselingkuh dengan David Symmonds, mantan rekan kerja George. Terbuai dengan cinta David, Jean  masuk dalam petualangan seks yang menggairahkan dengan duda tua itu. Di sela-sela pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar dan pekerja paruh waktu di sebuah toko buku, ia menghabiskan waktu bertemu dan mendapatkan kenikmatan jasmani dari David. Hingga suatu hari, George menyaksikan sendiri perselingkuhan istrinya, di tempat tidurnya sendiri. George yang masih belum lepas dari kekacauan pikiran akibat jejas di pinggulnya, makin bertambah kacau pikirannya. 

Apakah yang akan terjadi dengan rencana pernikahan Katie? Apakah Katie benar-benar akan menikahi Ray? Bagaimana nasib percintaan senja Jean dan David? Lalu, apa yang akan terjadi dengan cinta Jamie? Semuanya akan terjawab pada bagian-bagian akhir novel yang mengundang senyum ini.

A Spot of Bother adalah sebuah novel komedi-psikologis keluarga masa kini. Kesan komikal berawal dari George dan kerumitan pikirannya merespons 'bintik gatal' di pinggulnya. Kendati dokter menyatakan jejas itu hanya sejenis eksem sehingga George tidak perlu kuatir berlebihan, tidak mudah untuk George menerima. Kerumitan pikiran dan perasaan gara-gara penyebab yang bisa dikatakan sepele ini (George tidak akan mati gara-gara bintik gatal, dengan krim steroid toh sembuh juga) mengingatkan saya pada karakter Jonathan Noel (satpam bank, 53 tahun) dalam novel Die Taube/Paranoid karya Patrick Süskind (Dastan Books, 2007). Kedua novel ini mengisahkan lelaki tua yang kehilangan akal sehat gara-gara hal sepele. Jika George gara-gara sebercak eksim (yang sekali lagi tidak susah dihilangkan), Jonathan Noel karena seekor merpati yang muncul di depan kamarnya. Tetapi, tentu hanya sebatas itu saja, karena konflik psikologis George lebih kental terasakan dalam jumlah halaman yang lebih banyak. 

Sebenarnya, tidak hanya George yang punya 'bintik gatal'. Hanya 'bintik gatal' George memang kasatmata dan kita tidak heran ketika ia memutuskan untuk mengguntingnya. Sementara 'bintik gatal' Jean, Katie, dan Jamie tercermin dari kehidupan mereka sendiri. Bagi Jean, hubungan cintanya dengan David adalah 'bintik gatal'-nya. Bagi Katie, ketidakpastian cintanya pada Ray adalah 'bintik gatal'-nya. Sedangkan bagi Jamie hubungan cinta sejenisnya dengan Tony adalah 'bintik gatal'-nya. Bintik-bintik gatal itu mengembangkan pergulatan psikologis yang diramu dengan asyik oleh Mark Haddon, sang penulis. Seiring dengan perguliran plot, ketika waktunya tiba, kita melihat, bahwa semua bintik gatal yang tergaruk itu akan dipulihkan dan sesungguhnya semua itu bukanlah hal yang perlu terjadi. Seperti pikiran Geogre, "Sudah saatnya menghentikan semua omong-kosong ini."

Kisah dalam novel ini, oleh Mark Haddon dibentangkan menggunakan perspektif orang ketiga, dengan mengalirkan ceritanya dari kehidupan masing-masing anggota keluarga Hall. Kejadian-kejadian yang dialami keluarga Hall dipaparkan menggunakan 'mata' karakter George, Jean, Jamie, dan Katie secara bergantian. Efeknya, pemahaman pembaca mengenai pikiran dan perasaan masing-masing karakter merespons setiap kejadian menjadi kaya. Memang, dengan gaya seperti ini, plot novel seolah-olah merayap lambat dan perjalanan menuju klimaks terasa gemulai. Tetapi, hal ini tidak mengurangi daya tarik novel. Haddon adalah pencerita asyik yang mampu mengikat dan menghanyutkan pembaca hingga penghujung novel tanpa harus tersiksa untuk menamatkannya. Awalnya, saya memang agak ragu untuk segera bisa menamatkan novel ini, tetapi ternyata setelah memulainya, setiap selesai satu bagian, langsung buru-buru ingin masuk ke bagian berikutnya. 

Tanpa berupaya menyodorkan ide-ide raksasa seperti dalam Da Vinci Code atau The Dante Club, cukup dengan ide-ide sederhana yang tanpa kita sadari bisa terjadi dalam kehidupan kita, Haddon telah menciptakan pesona tersendiri.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan