Judul Buku: The Boy in the Striped Pyjamas
Penulis: John Boyne
Penerjemah: Rosemary Kesauli
Tebal: 240 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Juli 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Auschwitz
adalah kamp konsentrasi Nazi, tempat 1,4 sampai 4 juta orang Yahudi
atau keturunan Yahudi dari berbagai negara di Eropa tewas antara tahun
1941 – 1945. Kamp ini terletak di selatan Polandia, 286 km dari
Warsawa. Para tahanan tewas dengan berbagai cara, seperti dibunuh
dalam kamar gas menggunakan Zyklon-B, dieksekusi secara individual oleh
tentara Nazi, kelaparan, kerja paksa, sakit, dan juga menjadi korban
eksperimen medis.
Oleh John Boyne, penulis Irlandia kelahiran Dublin 30 April 1971, Auschwitz dijadikan latar utama novelnya yang berjudul The Boy in the Striped Pyjamas (2006). Sebelumnya Boyne telah menerbitkan novel The Thief of Time (2000), The Congress of Rough Riders (2001), dan Crippen (2004). Setelah The Boy in the Striped Pyjamas, Boyne telah menerbitkan novel kelima berjudul Next of Kin (Oktober, 2006). The Boy in the Striped Pyjamas merupakan novel pertama John Boyne yang ditujukan untuk pembaca anak-anak. Novel ini telah memberikannya penghargaan seperti Irish Book Award: People's Choice Award Book of the Year, Irish Book Award: Children's Book of the Year, dan CBI Bisto Children's Book of the Year.
The Boy in the Striped Pyjamas
(Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis) berkisah tentang Bruno, seorang anak 9 tahun tapi bertubuh lebih kecil
dari anak lain seusianya, yang tinggal di Berlin pada waktu Perang
Dunia II. Ia tinggal di sebuah rumah lima lantai yang sangat indah
dengan kedua orang tuanya dan seorang kakak perempuan bernama Gretel
yang dijulukinya si Benar-benar Payah (the Hopeless Case). Suatu
hari seorang lelaki berkumis aneh dan seorang perempuan cantik datang
makan malam di rumah Bruno. Mereka adalah Adolf Hitler –dalam buku ini
disebut the Fury, plesetan dari Der Führer, dan kekasihnya, Eva Braun.
Kedatangan mereka membuat Ralf, ayah Bruno, seorang anggota Nazi,
mendapat tugas sebagai komandan di Auschwitz, kamp konsentrasi Nazi
yang paling besar.
Meski
berat hati, Bruno mesti meninggalkan Berlin, rumah tempat ia melakukan
penjelajahan, teman-teman terbaiknya, juga kakek yang bangga dengan
prestasi sang anak, dan nenek yang justru merasa telah salah mendidik
anak. Ia harus tinggal di sebuah rumah tiga lantai dan tidak memiliki
wilayah untuk dijelajahi di sebuah tempat yang oleh Gretel disebut
Out-With (Auschwitz).
Salah satu bagian dari Auscwitz
Lewat jendela kamarnya, mata Bruno menyeberang melampaui pagar tinggi terbuat dari kawat dan menemukan kehidupan orang-orang yang tidak ia kenal di sebelah pagar, orang-orang dengan pakaian yang sama: sepasang piama kelabu bergaris-garis dengan topi garis-garis di kepala. Menurut ayah Bruno, orang-orang itu sama sekali bukan 'orang'.
Suatu
hari timbul keinginan dalam hati Bruno untuk melakukan penjelajahan
sekitar tempat tinggalnya, menyusuri pagar kawat yang ia lihat dari
jendela kamarnya. Ia bertemu dengan seorang bocah kurus yang sedih dari
balik pagar kawat bernama Shmuel, anak Yahudi dari Polandia. Shmuel
yang bisa berbahasa Jerman lahir pada tanggal yang sama dengan Bruno,
15 April 1934. Mereka menjalin pertemanan, bertemu setiap hari di
tempat yang sama, dan berkomunikasi di antara pagar kawat.
Setelah
masalah Letnan Kotler -seorang serdadu bawahan ayah Bruno yang rupanya
menjalin hubungan dengan ibu Bruno, kemudian kepala Bruno harus
dibotaki karena kutu, ibu Bruno bertekad kembali ke Berlin. Ini berarti
Bruno mesti berpisah dengan Shmuel. Sebelum kembali ke Berlin, Bruno
dan Shmuel merencanakan acara penjelajahan bersama di sebelah pagar
tempat Shmuel tinggal sekalian mencari ayah Shmuel yang hilang. Untuk
menyempurnakan penampilan Bruno, Shmuel akan mengambilkan sepasang
piama garis-garis dan topi kain dari pondok penyimpanan piama untuk
Bruno. Sebuah rencana yang sangat cemerlang di mata Bruno, sebuah
rencana yang kemudian menghancurkan hati dan kehidupan keluarganya,
termasuk ayahnya, sang komandan Nazi.
John Boyne menulis novel ini untuk anak-anak. Tapi ia juga berharap mendapatkan pembaca dewasa. Oleh Gramedia Pustaka Utama, ternyata The Boy in the Striped Pyjamas
diberi label Novel Dewasa. Melihat keseluruhan cerita, juga cara
pengungkapan John Boyne, sesungguhnya novel ini memang
bacaan untuk anak-anak. Apalagi karakter utamanya adalah anak-anak
dengan cara berpikir yang lugu tapi cerdas; seorang anak yang tidak
mengenal diskriminasi dan menempatkan penghargaan terhadap orang lain
sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya yang belia. Hanya,
dalam buku ini, tidak ada penjelasan yang memadai untuk latar
belakang cerita. Kemungkinan, pembaca anak-anak akan bingung dengan
latar belakang historis yang digunakan John Boyne. Bisa
saja ada pemikiran bahwa latar belakang itu tidak penting. Tapi, untuk
bisa menikmati secara total, anak-anak yang belum mengenal sejarah
dunia perlu mengetahui situasi dan tokoh yang membuat kisah dalam
novel ini bisa terjadi. Hal ini penting, mengingat sejarah dan tokoh
sejarah yang digunakan John Boyne yang menyebabkan keluarga Bruno
mencapai Auschwitz, dan memberikan efek pada terjadinya peristiwa
menggiriskan hati pada bagian akhir novel yang terasa sangat ironis.
Sehingga, menurut saya, novel ini tetap bisa dinikmati anak-anak dengan
bimbingan orang tua.
Sesungguhnya
cerita dalam novel ini tergolong sederhana. Setelah memahami latar
belakang cerita, tidak ada eksplorasi penulis yang sulit untuk diikuti.
Meskipun demikian, pembaca tetap tidak akan mudah menebak bagaimana
novel dituntaskan.
Selain
itu, kendati awalnya novel mengalir tanpa sengatan berarti dari sisi
plot, cara John Boyne memberi jiwa pada karakter Bruno bisa dikatakan
sangat berhasil sehingga novel ini tidak terpuruk menjadi bacaan yang
menjenuhkan. Jalan pikiran Bruno ketika berinteraksi dengan siapa pun
yang ia temui dalam hidupnya niscaya akan menyentuh hati kita.
Keluguannya tidak hanya menggemaskan sehingga berpotensi merekahkan
senyuman di wajah kita, tapi juga akan membuat hati basah dan mata
berkaca-kaca. Selanjutnya, di penghujung novel, John Boyne berhasil
meraut plotnya menjadi tajam, menyodorkan adegan-adegan penting yang
menjadi bagian paling menggetarkan dari keseluruhan novel. Pembaca
dewasa yang segera memahami peristiwa yang disampaikan penulis akan
segera merasakan hatinya tercekat. Namun, seperti Bruno yang tidak
memahami dengan benar apa yang terjadi, mungkin akan ada pembaca yang
juga tidak memahami apa sesungguhnya yang terjadi saat itu. Pengetahuan
tentang Auschwitz mungkin akan memberikan sedikit petunjuk mengenai
peristiwa itu.
Satu
harapan yang ditoreh sang penulis dalam novel ini adalah peristiwa
serupa dalam novel tidak akan terulang lagi pada zaman sekarang. Apa
yang telah terjadi sudah menjadi sejarah, dan yang perlu dilakukan
saat ini adalah memetik pelajaran dari sejarah. Jangan sampai ada
kelompok manusia yang terpaksa harus mengenakan 'piama garis-garis'
untuk melewati 'pagar kawat berduri' yang ditegakkan sebagai wujud
kecongkakan rasial segolongan manusia.
Novel
ini telah diadaptasi menjadi film oleh sutradara Mark Herman dengan pemain seperti David Thewlis, Vera Farmiga, dan Asa
Butterfield. Jadi, sebelum menikmati versi filmnya, tidak ada salahnya untuk membaca dulu versi novelnya.
Tapi
sebelumnya, Anda harus mengenakan 'piama garis-garis' dulu untuk ikut
bertualang dan memahami kehidupan, pikiran, dan perasaan si kecil
Bruno.
1 comments:
terima kasih kepada admin yang telah memberi informasi ini, sangat membantu
Post a Comment