07 February 2012

The Crystal Garden



Judul Buku : The Crystal Garden
Penulis : Mohsen Makhmalbaf
Penerjemah : Elka Ferani
Penyunting : Melvi Yendra
Penerbit : Dastan Books,  2006




Saat Penderitaan, Saat Belas Kasihan



Mohsen Makhmalbaf terkenal sebagai sutradara, penulis, editor, dan produser yang film-filmnya telah diikutsertakan pada festival film internasional lebih dari 1000 kali. Dia telah memperoleh lebih dari 20 penghargaan. Selain itu, Mohsen telah mempublikasikan lebih kurang 27 buku yang telah diterjemahkan dalam lebih dari 10 bahasa. Dalam dunia perfilman Iran, keluarga Mohsen Makhmalbaf dikenal sebagai dinasti Makhmalbaf.Karena selain dia, istrinya, Marziyeh Meshkini, kedua putrinya yaitu Samira dan Hana telah mengukuhkan diri sebagai sutradara film. Sekarang Mohsen dan keluarganya tinggal di Kabul, Afghan, membantu mendirikan sekolah dan rumah sakit. Sebelumnya Mohsen Makhmalbaf telah sukses mengirim ribuan anak Afghan bersekolah di Iran.

The Crystal Garden adalah salah satu novel racikan lelaki kelahiran Teheran 29 Mei 1957 yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh Dastan Books. Cerita berlatar Teheran, Iran pascarevolusi, saat perang Iran-Irak (1980 – 1988) berkecamuk. Hampir seluruh cerita terjadi di sebuah rumah besar dengan taman dan kolam yang disita negara dan pemiliknya lari keluar negeri. Ada berbagai perempuan dan berbagai kehidupan berkelindan di kamar-kamar pembantu rumah besar itu. Kita tidak akan menemukan cerita yang hanya digulirkan dari satu karakter. Tidak ada plot tunggal. Semua perempuan dalam novel menjadi karakter penting dengan plot kehidupan masing-masing yang dianyam Mohsen menjadi sebuah novel. Persamaan yang merekatkan mereka adalah mereka semua korban-korban perang. Meskipun tidak dalam arti terlibat langsung dalam peperangan.

Layeh, ditinggalkan suaminya, Mansur,yang gugur dalam perang dengan 2 anaknya, Salman dan Sareh dan seorang bayi yang masih dalam kandungan.Suatu ketika Layeh menerima pinangan seorang laki-laki bernama Karim karena dijodohkan orang-orang serumah. Tetapi ternyata Karim seorang tukang pukul dan tidak berniat menjadi ayah bagi anak-anak Layeh.Setelah Layeh keguguran, Karim menghilang dari kehidupannya.

Maliheh, seorang perempuan muda yang menikah dengan Hamid, veteran perang lumpuh dan telah kehilangan kemampuan reproduksi. Hamid sering meragukan cinta Maliheh. Maliheh memang mau menikahi Hamid karena percaya pengorbanan yang ia lakukan akan dibalas di akhirat. Padahal, sebagai perempuan, yang setiap hari melihat anak-anak teman serumah, Maliheh juga mendambakan  anaknya sendiri.

Souri, seperti halnya Layeh ditinggalkan suaminya, Akbar, yang tewas dalam perang.Mereka telah memiliki 2 orang anak, Samireh dan Meysam. Souri tidak dekat dengan ibu mertuanya yang mempersalahkan Souri atas kematian anaknya. Souri dinikahkan oleh ayah mertuanya dengan adik suaminya, Ahmad. Ketika cinta mulai menyapa, terjadi sebuah peistiwa yang membuat Ahmad memutuskan ikut berperang. Souri ditinggalkan dalam keadaan hamil.

Alyeh, perempuan tua yang kehilangan 2 anaknya, Akbar dan Ahmad yang tewas dalam perang. Dan seolah tidak cukup, suaminya, Marshadi, juga nekat pergi berperang untuk kemudian tidak pernah kembali lagi.

Khorshid, mantan pembantu rumah besar yang dinikahkan dengan Ali, seorang pelayan,karena kecemburuan istri majikannya.. Ali ternyata tidak lebih dari seorang lelaki lemah yang kerjanya hanya duduk, mengeluh, dan mengisap candu.

Kehidupan para perempuan ini mencapai titik nadir ketika mereka digusur dari rumah besar. Di titik nadir tersebut, Souri melahirkan anak Ahmad. Souri yang lemah tidak bisa menyusui anaknya. Alyeh, ibu mertua Souri yang menjaga bayi Souri merasa putus asa karena tidak berdaya. Alyeh mendongak ke langit, mengigit bibirnya sampai berdarah, dan berteriak keras," Tuhan, di mana Engkau? Apa Kau tidak ada?" Satu pertanyaan yang mengiris hati. Pertanyaan yang bisa terucap oleh siapa pun ketika penderitaan yang menimpa terasa tidak tertanggungkan lagi dan seakan-akan Tuhan menutup mata atas semua yang terjadi. Pertanyaan yang sekaligus merupakan gugatan dari novel ini: siapakah penyebab penderitaan manusia? Tuhankah? Atau manusia sendiri?

Saat Alyeh berteriak lantang, teriakannya secara luar biasa disahut Tuhan. Tuhan tidak berada dalam peperangan. Tuhan sedang menanti terlewatnya ambang batas kemampuan manusia yang mengandalkan diri sendiri untuk memberikan kuasa-Nya yang penuh belas kasihan.

Mohsen menjalin kisah kehidupan manusia-manusia sengsara karena perang ini dengan indah dan apa adanya. Tidak ada yang dipaksakan. Tidak ada yang dibuat-buat. Kita akan dibawanya larut dalam kesedihan, penderitaan, ketakutan, harapan, dan ketidakberdayaan mereka. The Crystal Garden menjadi sebuah novel yang akan meninggalkan jejak yang tidak mudah terhapus dari benak pembaca, sajian yang memikat karena kepedihan yang disodorkan. Selain itu kita tidak akan mudah melupakan kalimat-kalimat indah Mohsen lewat bisikan hati dan kata-kata para tokoh yang diposisikan dengan sangat wajar pada tempatnya. Kita harus membaca sendiri untuk menemukan dan meresapi keindahan verbalisasi Mohsen.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan